SUKAR MENAKAR NILAI WAJAR : TINJAUAN ATAS IFRS FAIR VALUE MEASUREMENT
Mitos
IFRS yang sering dipercayai adaah IFRS sangat condong menggunakan nilai wajar
dalam stadar-standarnya. Khusus untuk Indonesia yang sebelum 2008 sangat setia
menggunakan konsep nilai historis, mau tak mau mulai mengadopsi nilai wajar
dalam standar akuntansinya. PSAK 16 Aset tetap misalnya memperkenalkan konsep
model revaluasi yang menggunakan nilai wajar. Begitu pula dengan PSAK 13
Properti Investasi yang menawarkan model nilai wajar sebagai pilihan.
Banyaknya
penggunaan nilai wajar dalam IFRS membuat beberapa nilai wajar dalam
standar-standar IFRS tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya definisi
nilai wajar untuk PSAK 13 dan PSAK 16 memiliki perbedaan. Nilai wajar dalam
PSAK 13 ditentukan dengan exit price (harga
keluaran), didasarkan pada partisipasi pasar dan ditentukan pada tanggal
pengukuran. Sedangkan PSAK 16 pengukuran nilai wajar menggunakan entrance prince (harga masukan),
didasarkan atas dasar transaksi yang wajar dan tanggal pengukuran tidak
ditentukan.
Pembahasan
nilai wajar dalam IAS 41 Agriculture (belum
diadopsi di Indonesia) juga hanya mengatur apa yang harus di ukur dengan nilai
wajar (aset biologis) dan kapan mengukurnya. IAS 41 tidak menjelaskan bagaimana
metode pengukuran nilai wajar diterapkan.
Melihat
definisi nilai wajar yang kurang jelas dan tidak konsisten, pada bulan mei 2011
IASB mengeluarkan IFRS 13 Fair Value
Measurement dan mulai berlaku efektif 1 Januari 2013. Bila anda berprofesi
sebagai penilai, maka membaca IFRS 13 tidak akan terasa asing karena sangat
harmonis dengan ketentuan nilai pasar yang tertuang dalam IVS (International Valuation Standards), kitab
pegangan bagi profesi penilai. IVS adalah produk yang dikeluarkan oleh IVSC (International Valuation Standard Council) yang
diketuai saat ini oleh Sir David Tweedie, mantan ketua IASB selama 10 tahun.
IFRS 13 Fair Value Measurement: Ruang Lingkup dan
Definisi
IFRS
13 mengatur prinsip-prinsip pengukuran nilai wajar yang telah termuat dalam
standar-standar IFRS sebelumnya. IFRS 13 memberikan definisi baru tentang nilai
wajar yang sebelumnya diatur berbeda-beda dalam beberapa IFRS. Selain definisi,
IFRS 13 juga memberikan cara bagaimana nilai wajar tersebut diukur dan
bagaimana pengungkapannya. Hal ini menjadi penting karena dalam beberapa IFRS
terdapat petunjuk atau contoh-contoh penghitungan nilai wajar yang akhirnya
tidak konsisten satu sama lain.
Definisi
nilai wajat dalam IFRS 13 lebih jelas dari pada definisi sebelumnya. Misalnya
kata ‘could be exchanged’ tidak jelas
apakah harga jual atau harga beli? Hal itu diperjelas dalam definisi IFRS 13
yang menggunakan harga yang didapatkan bila kita menjual aset. Definisi
sebelumnya juga tidak jelas harga kapan yang digunakan yang diperjelas kemudian
dalam IFRS 13 sebagai harga pada saat pengukuran.
Dengan
definisi yang baru maka yang dimaksud dengan nilai wajar dari aset atau
liabilitas yang diukur adalah adalah harga yang digunakan di pasar (market based measurement) dan bukan
harga yang bergantung pada faktor-faktor internal perusahaan (entity specific measurement).
Namun
harus dicermati kata orderly transaction (transaksi
dalam keadaan wajar teratur) terkadang menuai diskusi hangat dikalangan akuntan
karena untuk menentukan apakah transaksi tersebut ‘orderly’ bukanlah perkara mudah.
Dalam
mengukur nilai wajar, perusahaan harus berusaha mencari harga pasar utama dari
aset dan liabilitas yang dimaksud. Bila pasar utama tidak ada, maka perusahaan
harus mencari harga dari pasar yang paling menguntungkan (most advantageous market) untuk aset dan liabilitas tersebut. Kata
most adavantageous market juga dapat
menuai kontroversi karena sulit untuk menentukannya.
Hal
lain yang perlu menjadi perhatian adalah nilai transaksi tidak selalu sama
dengan nilai wajar. Walaupun dalam banyak hal, nilai transaksi biasanya adalah
nilai wajar, namun bisa saja nilai transaksi tidak mencerminkan nilai wajar.
Bila ada suatu standar IFRS yang mensyaratkan suatu aset/liabilitas diakui
pertama kali sesuai dengan nilai wajarnya, maka perusahaan mengukur nilai wajar
sesuai dengan ketentuan IFRS 13. Jika ada perbedaan antara harga transaksi
dengan nilai wajarnya, maka selisihnya diakui dalam Laporan Laba Rugi
Komprehensif, kecuali diatur berbeda dalam standar lain.
Hirarki Nilai Wajar
Pentingnya
harga pasar membuat banyak akuntan di negara berkembang cemas. Merupakan
tantangan yang besar bagi negara berkembang untuk menentukan nilai pasar karena
volatilitas pasar di negara berkembang lebih tinggi daripada negara-negara maju.
IFRS 13 tidak serta merta secara kejam memaksakan yang dimaksud nilai wajar
haruslah nilai pasar. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk memahami hirarki
nilai wajar dalam IFRS 13.
Level 1
|
Harga kuotasi pasar yang tidak disesuaikan untuk pasar aktif aset/liabilitas
tersebut (atau yang identik), yang bisa diakses perusahaan pada tanggal
pengukuran.
|
Kuotasi langsung, tidak perlu ada penilaian.
|
Level 2
|
Nilai masukkan terobservasi (observable
inputs) selain harga kuotasi di level 1. Nilai masukan terobservasi ini
dapat berupa harga langsung (direct
price) atau harga tidak langsung (diturunkan dari harga)
|
Direct market comparison, income
approach (e.g Discounted cash flow) or Cost Approach (e.g replacemnet cost)
|
Level 3
|
Harga masukan tak terobservasi (unobservable
input) atau tidak berlandaskan data pasar.
|
Income approach, Cost approach
(eg. DRC Method-Depreciated Replacemnet Cost)
|
Berdasarkan
hirarki diatas maka nilai wajar untuk aset nonkeuangan seperti gedung dan
peralatan biasanya menggunakan level 2 dan level 3. Perusahaan sedapat mungkin
harus menggunakan level 1 untuk mencari nilai wajar aset dan liabilitas. Namun
level 2 dan level 3 digunakan bila memang tidak ada nilai pasar terhadap aset
dan liabilitas yang diukur, tentunya level 2 diutamakan sebelum akhirnya harus
menggunakan level 3. Unobservable input termasuk
juga informasi internal perusahaan (anggaran dan prakiraan/forecast) yang
senantiasa disesuaikan bila asumsi perusahaan berubah.
High and
best use model
Secara
khusus IFRS 13 memberikan persyarata untuk aset-aset non keuangan (semisal
gedung) yakni pemanfaatan terbaik dan tertinggi dari aset tersebut. “ A fair value measurement of a financial
assets takes into account a market participant’s ability to generate economic
benefits by using the asset in its highest and best use or by selling it to
another market paticipant that would use the asset in its highest and best use”
IFRS 13 Paragraph 27.
Sebutlah
misalnya Perusahaan XYZ memiliki sebuah gedung di sebuah jalan protokol ibu
kota yang sangat bergengsi. Perusahaan ingin mengukur properti investasi ini
menggunakan nilai wajar. Saat ini gedung tersebut hanya digunakan sebagai
gudang. Bila menggunakan definisi wajar sebelumnya, perusahaan XYZ bisa
menggunakan harga penawaran calon pembeli terhadap gedung tersebut.
Bisa
jadi harga yang ditawarkan pembeli lebih murah dari harga wajar gedung-gedung
sekitarnya karena pembelinya juga akan memanfaatkan gedung tersebut sebagai
gudang. Namun bila menggunakan definisi nilai wajar yang baru perusahaan harus
mengukur harga dari pasar yang paling menguntungkan. Seharusnya gedung tersebut
bila dimanfaatkan sebagai perkantoran (dan bukan sebagai gudang) karena berada
di daerah bisnis bergengsi, perusahaan bisa mendapatkan nilai wajar yang lebih
tinggi. Maka nilai gedung tersebut sebagai gudang tidak bisa diterapkan karena
tidak memenuhi definisi “highest and best
use”.
Bila
perusahaan bertujuan menggunakan aset non keuangan tidak dalam kapasitas
maksimum atau pemanfaatan terbaik, maka pengukuran nilai wajar aset tersebut
harus menggunakan harga pasar dimana pelaku pasar menggunakan aset tersebut
dengan pemanfaatan dan kapasitas terbaik.
Bila
aset memiliki nilai wajar yang lebih baik bila digunakan bersama-sama aset lain
(misalnya sebuah mesin yang nilainya lebih baik bila dijual sebagai kelompok
mesin pabrik lengkap) maka nilai tersebut yang digunakan dari pada nilai aset
yang terjual sendirian. Konsep high and
best use ini tidak digunakan dalam
pengukuran nilai wajar aset dan liabilitas keuangan.
Pengungkapan
Secara
umum Perusahaan harus mengungkapkan nilai wajar di akhir periode serta teknik
penilaian dan nilai masukan (input value)
yang digunakan dalam teknik penilaian tersebut. Level penilaian berapa yang
digunakan oleh Perusahaan juga harus diungkapkan. Apabila ada transfer aset dan
liabilitas antara satu level dengan level lainnya, hal tersebut juga harus
diungkapkan.
Penggunaan
nilai wajar level 3 membutuhkan banyak pertimbangan profesional (professional judgement) . Pada
prinsipnya bila perusahaan memutuskan menggunakan level 3 maka pengguna laporan
keuangan harus dapat mengetahui dampak dari level 3 tersebut terhadap laba/rugi
perusahaan atau terdapat pendapatan komprehensif lain.
Bila
perusahaan menggunakan teknik penilaian nilai wajar level 3, nilai input dan
asumsi-asumsi yang digunakan harus diungkapkan secara rinci. Perusahaan juga
harus menjelaskan langkah-langkah proses penilaian yang dilakukan dengan nilai
input tersebut.
IFRS 13 fair value measurement adalah
salah satu standar akuntansi yang cukup rumit dan membutuhlan ilmu-ilmu
penilaian yang mungkin tidak dipelajari oleh para akuntan yang mengenyam ilmu pendidikan
akutansi tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar