BESARNYA PERANAN AKUNTAN
DALAM TERLAKSANANYA PRINSIP-PRINSIP Good
Corporate Governance GCG DAN IKLIM BISNIS YANG BERETIKA
PERUBAHAN
LINGKUNGAN DAN GCG
Isu hangat yang menarik perhatian para
ekonom dan pelaku bisnis di Indonesia saat ini adalah
tentang
Good
Corporate Governance (GCG). Sejak adanya krisis finansial di berbagai
negara di tahun 1997-1998
yang diawali krisis di Thailand (1997), Jepang, Korea, Indonesia,
Malaysia, Hongkong dan Singapura yang akhirnya berubah
menjadi krisis finansial Asia ini dipandang sebagai akibat lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG) di negara-negara
Asia. Konsep
GCG sesungguhnya telah lama dikenal di negara-negara maju di kawasan Eropa dan
Amerika. GCG semakin banyak menarik perhatian masyarakat dunia setelah terjadi
krisis besar di Amerika Serikat tahun 1929 dan krisis perbankan di Inggris
tahun 1970. Di Indonesia, konsep GCG muncul setelah krisis moneter melanda
negara ini pada kwartal ketiga tahun 1997. Krisis yang dialami Indonesia
mengakibatkan kinerja dunia bisnis menurun drastis, terutama di lingkungan
perusahaan menengah dan besar, dan hal ini berdampak sangat besar terhadap
perekonomian nasional.
GCG merupakan upaya untuk menjaga
keseimbangan antara pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan tujuan-tujuan sosial
serta tujuan-tujuan individu dan tujuan-tujuan masyarakat. Sedangkan
sasaran pelaksanaan GCG adalah untuk menyelaraskan kepentingan pribadi,
kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat.
Sejauh mana implementasinya? Sejauh
ini masing-masing perusahaan (BUMN) sudah menjalankan GCG yang telah
diperbaharui sejak 31 Juli 2007 oleh Menteri BUMN. Setelah diperbaharui,
maka setiap proses yang dilakukan oleh perusahaan atau BUMN harus
dilengkapi oleh pakta integritas antara direksi dan pemegang saham. Direksi
harus mempertanggungjawabkan bahwa setiap pengambilan keputusan sudah
melalui proses sesuai dengan aturan yang ada dan bebas dari intervensi pihak
pihak lain. Apabila di kemudian hari terjadi kesalahan, maka si
pengambil keputusan harus bertanggungjawab, baik secara perdata maupun pidana.
Kendala apa yang menghadang implementasi
GCG? Ada dua kendala yang
mengemuka, yaitu di sisi internal dan eksternal. Internalnya adalah dalam pengelolaan BUMN masih terlalu
banyak aturan seperti undang-undang, dan hal itu perlu disederhanakan. Sementara
itu faktor eksternalnya adalah masih
banyaknya intervensi non korporasi yang terjadi, dan ini harus
diminimalisir demi independensi BUMN.
Solusi
ke depannya bagaimana? Tidak ada jalan lain kecuali
mensosialisasikan GCG yang terbaru ini kepada semua pihak agar BUMN terbebas
dari intervensi dan dapat melakukan fungsi serta operasionalnya
semaksimal mungkin, sementara BUMN sendiri hendaknya bisa bersikap tegas untuk
menolak segala macam bentuk intervensi dari pihak luar.
PENERAPAN GCG MASIH LEMAH
Berdasarkan hasil survey Transparency
International, saat ini Indonesia merupakan negara terkorup nomor 6
(enam) di dunia. Dari 158 negara yang disurvei, posisi Indonesia hanya
lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan,
Angola, Nigeria, Haiti, dan Myanmar. Hal ini menunjukkan masih lemahnya
penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia. Dengan adanya
kondisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah Indonesia beserta
jajarannya belum dapat menjalankan roda/sistem pemerintahan dengan baik
sesuai prinsip-prinsip GCG. Kinerja birokrasi pemerintahan tampak sangat
tidak efisien serta tidak praktis dan ekonomis, dan cenderung tidak
professional, apalagi penerapan hukum dalam masyarakat sangat lemah yang
akhirnya dapat meniadakan rasa keadilan yang lazim dan wajar (netral).
Sehingga dalam hal inidperan Akuntan sangatlah
besar, khususnya dalam hal pertanggungjawaban profesi terhadap setiap hasil audit
laporan keuangan suatu perusahaan yang diaudit dan diberi pendapat, karena
profesi Akuntan memiliki akuntabilitas publik yang berarti dituntut pula dalam
hal kejujuran, integritas dan akurasi dalam melaksanakan perkerjaannya. Jadi, Akuntan di Indonesia
dituntut akuntabilitasnya terhadap publik yang begitu besar dalam rangka
meyakinkan publik atas hasil kerja profesi tersebut. Apalagi dewasa ini para
Akuntan, baik yang bekerja sebagai birokrat, akuntan manajemen maupun akuntan
di Kantor Akuntan Publik yang berada dalam naungan Ikatan Akuntan Indonesia
dituntut berpegang pada akuntabilitas yang lebih memadai saat menjalankan tugasnya
dalam pemeriksaan dan pengujian terhadap laporan keuangan perusahaan swasta
nasional dan/atau asing serta pemerintah (AS)
Kriteria yang
digunakan, disusun dengan memberi penekanan pada kualitas dari informasi yang
tercantum di dalam Laporan Tahunan, khususnya menyangkut aspek tranparansi dan good corporate governance.
Adapun Kriteria umum penilaian adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran yang baik dan jelas mengenai kegiatan operasional
perusahaan dan penjelasan mengenai kinerja perusahaan serta indikasi arah
perusahaan di masa yang akan datang;
2. Penyajian informasi keuangan yang baik dan informatif sesuai dengan
ketentuan akuntansi yang berlaku di Indonesia;
3. Informasi yang jelas mengenai kepemilikan dan penerapan Good Corporate Governance;
4. Kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
Untuk meningkatkan kinerja BUMN,
reformasi melalui GCG adalah cara terbaik, dan pada dasarnya GCG mengatur soal
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan serta menerapkan prinsip
dan etika anti-korupsi dalam berbisnis. Inisiatif reformasi BUMN itu sendiri
sudah berjalan sejak lama. Terutama ditekankan lembaga keuangan internasional
seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan
Asian Development Bank (ADB). Lembaga-lembaga tersebut berkepentingan
mendorong penerapan praktek bisnis yang bersih dari korupsi. Semestinya,
kekuatan sumber daya BUMN harus terus dikembangkan, terutama dengan konsisten
menjalankan GCG. Lebih dari itu, hasil akhir GCG adalah budaya korporasi yang
kuat.
Untuk menerapkan GCG, salah satunya
tiap perusahaan harus membentuk komite audit dan beranggotakan tiga orang, yang
salah satunya harus merupakan audit independent, jadi jika satu perusahaan
ingin menerapkan GCG, komite auditnya harus benar-benar kompeten, profesional,
dan independen. Karena itu, sejak 2000-an, sudah banyak perusahaan yang
membentuk komite audit.
GCG dan HUMAN
CAPITAL MANAGEMENT
Sumber Daya Manusia (Human Resource)
bagi perusahaan merupakan human capital yang tak ternilai harganya. Dalam era
gloabalisasi , maju mundurnya perusahaan sangat tergantung kualitas SDM yang
dimiliki. Bahkan daya saing perusahaan (corporate competitivness) saat ini
sangat ditentukan adanya SDM yang kompeten dan handal. Banyak perusahaan yang
bangkrut dan akhirnya terpaksa dilikuidasi, akibat kurang memperhatikan
kapabilitas SDM.
Di lain pihak, ternyata
perusahaan yang dapat berkembang pesat (sustainable company), karena memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap peningkatan kompetensi dan kapabilitas SDM. Human Capital Management (HCM) yang
berbasis kompetensi atau Competency-Based Human Resources Management (CBHRM)
merupakan salah satu sistem manajemen SDM yang banyak dipakai di berbagai
perusahaan.
Faktor kunci kesuksesan (key success
factor) dalam HCM adalah masalah keteladanan dari pimpinan terhadap bawahan
serta satunya kata dan perbuatan alias tidak munafik. Menurut kami, pada saat
ini, negara kita sedang mengalami krisis keteladanan baik di lingkungan
pemerintahan maupun perusahaan. Kita sangat memerlukan sosok pimpinan yang
dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan yang baik (uswatun hasanah).
Berbagai kelemahan dalam HCM dapat diketahui, apabila dilakukan evaluasi secara
periodik sehingga dapat dilakukan perbaikan secara berkesinambungan (continuous
improvement). HCM perlu dikelola secara profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip
GCG agar dapat dipertahankan SDM yang profesional, kompeten dan handal dalam
rangka meningkatkan kinerja perusahaan.
Prinsip
GCG
Beberapa prinsip GCG yang perlu diperhatikan
dalam HCM, antara lain : Pertama,
prinsip keadilan (fairness), artinya agar dihindarkan adanya diskriminasi dan
unsur subyektivitas, baik karena SARA maupun Gender. Perlakuan yang adil dan
obyektif, dapat mendorong setiap karyawan untuk meningkatkan kreativitas dan
inovasi (creative & innovative) sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kebijakan tentang penggajian (remunerasi) karyawan, hendaknya diterapkan secara
obyektif dan konsisten, misalnya berdasarkan kinerja (base on performance). Penghargaan
(reward) diberikan sesuai dengan prestasi yang dicapai dan sangsi (punishment)
dikenakan sesuai kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Setiap karyawan
memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam pendidikan dan pelatihan
(training & education) untuk mengembangkan kemampuan, ketrampilan &
pengalaman (skill & experience). Kedua,
prinsip keterbukaan (transparency), artinya setiap pengambilan keputusan
menyangkut kekaryawanan dilaksanakan secara transparan. Oleh karena itu,
kebijakan perusahaan terkait dengan proses promosi, demosi dan mutasi karyawan hendaknya
dijalankan sesuai dengan sistem jenjang karir (career planning system) yang
jelas dan konsisten. Dasar Pertimbangan karyawan dipromosikan, hendaknya
didasarkan atas prestasi kerja yang ditunjukkan dengan hasil penilaian (appraisal)
karyawan dan sikapnya yang dapat dijadikan teladan, misalnya disiplin, kerjasama
dan saling menghargai. Dalam hal ini, agar dihindarkan adanya promosi
berdasarkan nepotisme, misalnya kedekatan dengan pimpinan atau terdapat
hubungan kekeluargaan.
Sinergi Komite Audit, Internal Auditor, &
Whistleblower dalam Mengungkapkan Praktek Kecurangan
Masalah keagenan merupakan salah
satu faktor yang mendorong penerapan good corporate governance (GCG) di
perusahaan. Masalah keagenan ini dapat terjadi antara pemilik dan manajemen,
kreditor dan manajemen, ataupun antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang
saham minoritas. Masalah keagenan ini timbul akibat perbedaan
kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya yang membuat keduanya tidak
bersinergi satu dengan yang lainnya. Manajemen yang diamanatkan pemegang saham
untuk memaksimalkan kesejahteraannya terkadang tidak menjalankan tugasnya
dengan baik. Tak jarang ia malah mengambil tindakan yang hanya menguntungkan
dirinya sendiri dan menomor duakan para pemegang saham dengan melakukan praktek
manjemen laba yang akan meningkatkan bonus yang akan ia terima. Padahal cepat
atau lambat praktek manajemen laba tersebut akan terungkap ke publik yang mana
akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut.
Masalah keagenan ini dapat diminimalisasi oleh
penerapan prinsip-prinsip GCG. Prinsip-prinsip GCG itu mencakup persamaan hak
dan perlakuan kepada semua pemegang saham, perlakuan yang adil terhadap stakeholders
perusahaan, transparansi dan pengungkapan informasi perusahaan yang
material, serta pengawasan manajemen oleh dewan komisaris yang akan
dipertanggung jawabkan kepada pemegang saham dan stakeholders perusahaan.
Praktek GCG saat ini telah mendorong dibentuknya komite audit yang merupakan
komite yang dibentuk oleh dewan komisaris. Ia memiliki tanggung jawab khusus
dalam melakukan pengawasan proses pelaporan keuangan, pengawasan audit laporan
keuangan oleh pihak eksternal serta melakukan penilaian kewajaran audit fee
yang diajukan oleh auditor eksternal, mengawasi proses manajemen risiko dan
pengendalian internal,dan memastikan bahwa perusahaan telah menerapkan GCG.
Dalam menjalankan tugasnya ia akan berkoordinasi dengan internal auditor.
Komite audit akan menggunakan laporan dari internal auditor dalam menjalankan
fungsi pengawasannya tersebut. Jadi, komite audit dan internal auditor akan
bersinergi untuk memberikan informasi yang lebih akurat kepada dewan komisaris
dalam mengambil keputusannya. Dengan begitu, dewan komisaris akan lebih optimal
menjalankan fungsinya sebagai pengawas manajemen. Jadi keputusan dewan
komisaris itu didasarkan atas fakta dari audit investigasi yang dilakukan oleh
komite audit dan internal auditor.
Meskipun hal yang telah dipaparkan
di atas terlihat sebagai suatu sistem yang baik, ia masih memiliki kelemahan.
Terkadang sistem tersebut tidak dapat ditangkap oleh praktek kolusi yang
tertata rapih di dalam tubuh manajemen. Biasanya hal ini terungkap ke permukaan
berkat pengakuan whistleblower. Whistleblower merupakan seseorang
yang melaporkan praktek penyimpangan yang ada di dalam perusahaan. Biasanya
seorang whistleblower ini kerap mendapatkan teror dan intimidasi atas
tindakannya tersebut. Seseorang mungkin akan berpikir lebih baik tutup mulut
daripada ia harus kehilangan pekerjaannya. Sarbanes Oxley Act telah
mengatur agar perusahaan tidak menurunkan pangkat, skorsing, intimidasi,
diskriminasi terhadap karyawan yang melaporkan penyimpangan. Sedangkan
Indonesia telah mengakomodasinya dengan UU No.13 / 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Perlindungan yang dimaksud dalam UU tersebut meliputi
perlindungan fisik dan mental yang membahayakan diri, keluarga, dan harta
bendanya, serta pertimbangan untuk memperoleh keringanan hukuman. Apakah
peraturan tersebut telah cukup membesarkan nyali seseorang untuk mengungkapkan
praktek kecurangan di tengah fakta bahwa supremasi hukum dan tingkat
penerapan CG di Indonesia masih rendah? Sebenarnya dari mana harus kita mulai
program perlindungan terhadap whistleblower ini? Pertama, kita harus
memulai dengan menata praktek GCG dalam arti kita harus memastikan bahwa semua
orang yang ditempatkan dalam elemen CG seperti dewan komisaris, komite audit,
dan internal auditor adalah orang-orang yang memiliki independensi dalam
menjalankan perannya. Mereka
adalah para profesional yang kompeten serta tidak memiliki hubungan dengan
manajemen. Kedua, untuk mendorong pengungkapan terhadap penyimpangan, sebaiknya
dewan komisaris membuat program yang memberikan perlindungan kepada whistleblower
apabila ia melaporkan sesuatu praktek yang menyimpang di perusahaan.
Program tersebut seharusnya telah tersurat dengan jelas dalam code of
conduct perusahaan. Program tersebut misalnya adalah membuka jalur
komunikasi langsung dengan dewan komisaris, komite audit, ataupun internal auditor.
Mereka harus merahasiakan identitas
whistleblower ini dari pihak manajemen ataupun eksternal perusahaan.
Jadi, sifat dari komunikasi ini adalah rahasia dan tidak akan dipublikasikan.
Laporan adanya penyimpangan dari whistleblower ini kemudian digunakan
sebagai dugaan awal untuk melakukan audit investigasi. Kemudian komite audit
dan internal auditor membuat perencanaan program audit untuk membuktikan dugaan
tersebut. Apabila dalam audit investigasi memang ditemukan penyimpangan, maka internal
auditor dan komite audit akan menindaklanjuti hasil temuan dengan
melaporkan hasilnya kepada dewan komisaris. Kemudian dewan komisaris akan
membuat keputusan dari hasil investigasi yang dilakukan oleh komite audit dan
internal auditor, bukan berdasarkan informasi yang disampaikan oleh
whistleblower. Jadi keputusan dewan komisaris itu didasarkan atas fakta dari
audit investigasi yang dilakukan oleh komite audit dan internal auditor. Penerapan
ini memang tidak semudah dan sesingkat yang kita bayangkan.
Banyak permasalahan yang menghambat terciptanya
praktek GCG dan perlindungan terhadap whistleblower. Namun, kembali lagi
kita sangat berharap kepada pihak regulator dalam hal ini BEI,
dan OJK yang sudah selayaknya membuat peraturan yang menuju ke arah sana serta
mampu melakukan pengawasan terhadap ketaatan peraturan tersebut bagi para
pelaku usaha.
KESIMPULAN
Peran
Akuntan sangatlah besar, khususnya dalam hal pertanggungjawaban profesi
terhadap setiap hasil audit laporan keuangan suatu perusahaan yang diaudit dan
diberi pendapat, karena profesi Akuntan memiliki akuntabilitas publik yang
berarti dituntut pula dalam hal kejujuran, integritas dan akurasi dalam
melaksanakan perkerjaannya.
Untuk meningkatkan kinerja BUMN,
reformasi melalui GCG adalah cara terbaik, dan pada dasarnya GCG mengatur soal
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan serta menerapkan prinsip
dan etika anti-korupsi dalam berbisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar