Rabu, 19 November 2014

BESARNYA PERANAN AKUNTAN DALAM TERLAKSANANYA PRINSIP-PRINSIP Good Corporate Governance GCG DAN IKLIM BISNIS YANG BERETIKA

BESARNYA PERANAN AKUNTAN DALAM TERLAKSANANYA PRINSIP-PRINSIP Good  Corporate  Governance  GCG DAN IKLIM BISNIS YANG BERETIKA

PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN GCG
          
Isu hangat yang menarik perhatian para ekonom dan pelaku bisnis di Indonesia  saat  ini  adalah  tentang  Good  Corporate  Governance  (GCG). Sejak adanya krisis finansial di berbagai negara di tahun 1997-1998 yang diawali krisis di Thailand (1997), Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Hongkong dan Singapura yang akhirnya berubah menjadi krisis finansial Asia ini dipandang sebagai akibat lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG) di negara-negara Asia. Konsep GCG sesungguhnya telah lama dikenal di negara-negara maju di kawasan Eropa dan Amerika. GCG semakin banyak menarik perhatian masyarakat dunia setelah terjadi krisis besar di Amerika Serikat tahun 1929 dan krisis perbankan di Inggris tahun 1970. Di Indonesia, konsep GCG muncul setelah krisis moneter melanda negara ini pada kwartal ketiga tahun 1997. Krisis yang dialami Indonesia mengakibatkan kinerja dunia bisnis menurun drastis, terutama di lingkungan perusahaan menengah dan besar, dan hal ini berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional.
            GCG merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan tujuan-tujuan sosial serta tujuan-tujuan individu dan tujuan-tujuan masyarakat. Sedangkan sasaran pelaksanaan GCG adalah untuk menyelaraskan kepentingan pribadi, kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat.
            Sejauh mana implementasinya? Sejauh ini masing-masing perusahaan (BUMN) sudah menjalankan GCG yang telah diperbaharui sejak 31 Juli 2007 oleh Menteri BUMN. Setelah diperbaharui, maka setiap proses yang dilakukan oleh perusahaan atau BUMN harus dilengkapi oleh pakta integritas antara direksi dan pemegang saham. Direksi harus mempertanggungjawabkan bahwa setiap pengambilan keputusan sudah melalui proses sesuai dengan aturan yang ada dan bebas dari intervensi pihak pihak lain. Apabila di kemudian hari terjadi kesalahan, maka si pengambil keputusan harus bertanggungjawab, baik secara perdata maupun pidana.
            Kendala apa yang menghadang implementasi GCG? Ada dua kendala yang mengemuka, yaitu di sisi internal dan eksternal. Internalnya adalah dalam pengelolaan BUMN masih terlalu banyak aturan seperti undang-undang, dan hal itu perlu disederhanakan. Sementara itu faktor eksternalnya adalah masih banyaknya intervensi non korporasi yang terjadi, dan ini harus diminimalisir demi independensi BUMN.
            Solusi ke depannya bagaimana? Tidak ada jalan lain kecuali mensosialisasikan GCG yang terbaru ini kepada semua pihak agar BUMN terbebas dari intervensi dan dapat melakukan fungsi serta operasionalnya semaksimal mungkin, sementara BUMN sendiri hendaknya bisa bersikap tegas untuk menolak segala macam bentuk intervensi dari pihak luar.

PENERAPAN GCG MASIH LEMAH
            Berdasarkan hasil survey Transparency International, saat ini Indonesia merupakan negara terkorup nomor 6 (enam) di dunia. Dari 158 negara yang disurvei, posisi Indonesia hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti, dan Myanmar. Hal ini menunjukkan masih lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia. Dengan adanya kondisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah Indonesia beserta jajarannya belum dapat menjalankan roda/sistem pemerintahan dengan baik sesuai prinsip-prinsip GCG. Kinerja birokrasi pemerintahan tampak sangat tidak efisien serta tidak praktis dan ekonomis, dan cenderung tidak professional, apalagi penerapan hukum dalam masyarakat sangat lemah yang akhirnya dapat meniadakan rasa keadilan yang lazim dan wajar (netral).
            Sehingga dalam hal inidperan Akuntan sangatlah besar, khususnya dalam hal pertanggungjawaban profesi terhadap setiap hasil audit laporan keuangan suatu perusahaan yang diaudit dan diberi pendapat, karena profesi Akuntan memiliki akuntabilitas publik yang berarti dituntut pula dalam hal kejujuran, integritas dan akurasi dalam melaksanakan perkerjaannya. Jadi, Akuntan di Indonesia dituntut akuntabilitasnya terhadap publik yang begitu besar dalam rangka meyakinkan publik atas hasil kerja profesi tersebut. Apalagi dewasa ini para Akuntan, baik yang bekerja sebagai birokrat, akuntan manajemen maupun akuntan di Kantor Akuntan Publik yang berada dalam naungan Ikatan Akuntan Indonesia dituntut berpegang pada akuntabilitas yang lebih memadai saat menjalankan tugasnya dalam pemeriksaan dan pengujian terhadap laporan keuangan perusahaan swasta nasional dan/atau asing serta pemerintah (AS)
            Kriteria yang digunakan, disusun dengan memberi penekanan pada kualitas dari informasi yang tercantum di dalam Laporan Tahunan, khususnya menyangkut aspek tranparansi dan good corporate governance.
Adapun Kriteria umum penilaian adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran yang baik dan jelas mengenai kegiatan operasional perusahaan dan penjelasan mengenai kinerja perusahaan serta indikasi arah perusahaan di masa yang akan datang;
2. Penyajian informasi keuangan yang baik dan informatif sesuai dengan ketentuan akuntansi yang berlaku di Indonesia;
3. Informasi yang jelas mengenai kepemilikan dan penerapan Good Corporate Governance;
4. Kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku.

            Untuk meningkatkan kinerja BUMN, reformasi melalui GCG adalah cara terbaik, dan pada dasarnya GCG mengatur soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan serta menerapkan prinsip dan etika anti-korupsi dalam berbisnis. Inisiatif reformasi BUMN itu sendiri sudah berjalan sejak lama. Terutama ditekankan lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank (ADB). Lembaga-lembaga tersebut berkepentingan mendorong penerapan praktek bisnis yang bersih dari korupsi. Semestinya, kekuatan sumber daya BUMN harus terus dikembangkan, terutama dengan konsisten menjalankan GCG. Lebih dari itu, hasil akhir GCG adalah budaya korporasi yang kuat.
            Untuk menerapkan GCG, salah satunya tiap perusahaan harus membentuk komite audit dan beranggotakan tiga orang, yang salah satunya harus merupakan audit independent, jadi jika satu perusahaan ingin menerapkan GCG, komite auditnya harus benar-benar kompeten, profesional, dan independen. Karena itu, sejak 2000-an, sudah banyak perusahaan yang membentuk komite audit.

GCG dan HUMAN CAPITAL MANAGEMENT
            Sumber Daya Manusia (Human Resource) bagi perusahaan merupakan human capital yang tak ternilai harganya. Dalam era gloabalisasi , maju mundurnya perusahaan sangat tergantung kualitas SDM yang dimiliki. Bahkan daya saing perusahaan (corporate competitivness) saat ini sangat ditentukan adanya SDM yang kompeten dan handal. Banyak perusahaan yang bangkrut dan akhirnya terpaksa dilikuidasi, akibat kurang memperhatikan kapabilitas SDM.
            Di lain pihak, ternyata perusahaan yang dapat berkembang pesat (sustainable company), karena memiliki kepedulian yang tinggi terhadap peningkatan kompetensi dan kapabilitas SDM. Human Capital Management (HCM) yang berbasis kompetensi atau Competency-Based Human Resources Management (CBHRM) merupakan salah satu sistem manajemen SDM yang banyak dipakai di berbagai perusahaan.
            Faktor kunci kesuksesan (key success factor) dalam HCM adalah masalah keteladanan dari pimpinan terhadap bawahan serta satunya kata dan perbuatan alias tidak munafik. Menurut kami, pada saat ini, negara kita sedang mengalami krisis keteladanan baik di lingkungan pemerintahan maupun perusahaan. Kita sangat memerlukan sosok pimpinan yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan yang baik (uswatun hasanah). Berbagai kelemahan dalam HCM dapat diketahui, apabila dilakukan evaluasi secara periodik sehingga dapat dilakukan perbaikan secara berkesinambungan (continuous improvement). HCM perlu dikelola secara profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip GCG agar dapat dipertahankan SDM yang profesional, kompeten dan handal dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.

Prinsip GCG
            Beberapa prinsip GCG yang perlu diperhatikan dalam HCM, antara lain : Pertama, prinsip keadilan (fairness), artinya agar dihindarkan adanya diskriminasi dan unsur subyektivitas, baik karena SARA maupun Gender. Perlakuan yang adil dan obyektif, dapat mendorong setiap karyawan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi (creative & innovative) sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kebijakan tentang penggajian (remunerasi) karyawan, hendaknya diterapkan secara obyektif dan konsisten, misalnya berdasarkan kinerja (base on performance). Penghargaan (reward) diberikan sesuai dengan prestasi yang dicapai dan sangsi (punishment) dikenakan sesuai kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Setiap karyawan memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam pendidikan dan pelatihan (training & education) untuk mengembangkan kemampuan, ketrampilan & pengalaman (skill & experience). Kedua, prinsip keterbukaan (transparency), artinya setiap pengambilan keputusan menyangkut kekaryawanan dilaksanakan secara transparan. Oleh karena itu, kebijakan perusahaan terkait dengan proses promosi, demosi dan mutasi karyawan hendaknya dijalankan sesuai dengan sistem jenjang karir (career planning system) yang jelas dan konsisten. Dasar Pertimbangan karyawan dipromosikan, hendaknya didasarkan atas prestasi kerja yang ditunjukkan dengan hasil penilaian (appraisal) karyawan dan sikapnya yang dapat dijadikan teladan, misalnya disiplin, kerjasama dan saling menghargai. Dalam hal ini, agar dihindarkan adanya promosi berdasarkan nepotisme, misalnya kedekatan dengan pimpinan atau terdapat hubungan kekeluargaan.

Sinergi Komite Audit, Internal Auditor, & Whistleblower dalam Mengungkapkan Praktek Kecurangan
            Masalah keagenan merupakan salah satu faktor yang mendorong penerapan good corporate governance (GCG) di perusahaan. Masalah keagenan ini dapat terjadi antara pemilik dan manajemen, kreditor dan manajemen, ataupun antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Masalah keagenan ini timbul akibat perbedaan kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya yang membuat keduanya tidak bersinergi satu dengan yang lainnya. Manajemen yang diamanatkan pemegang saham untuk memaksimalkan kesejahteraannya terkadang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Tak jarang ia malah mengambil tindakan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan menomor duakan para pemegang saham dengan melakukan praktek manjemen laba yang akan meningkatkan bonus yang akan ia terima. Padahal cepat atau lambat praktek manajemen laba tersebut akan terungkap ke publik yang mana akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut.
            Masalah keagenan ini dapat diminimalisasi oleh penerapan prinsip-prinsip GCG. Prinsip-prinsip GCG itu mencakup persamaan hak dan perlakuan kepada semua pemegang saham, perlakuan yang adil terhadap stakeholders perusahaan, transparansi dan pengungkapan informasi perusahaan yang material, serta pengawasan manajemen oleh dewan komisaris yang akan dipertanggung jawabkan kepada pemegang saham dan stakeholders perusahaan. Praktek GCG saat ini telah mendorong dibentuknya komite audit yang merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris. Ia memiliki tanggung jawab khusus dalam melakukan pengawasan proses pelaporan keuangan, pengawasan audit laporan keuangan oleh pihak eksternal serta melakukan penilaian kewajaran audit fee yang diajukan oleh auditor eksternal, mengawasi proses manajemen risiko dan pengendalian internal,dan memastikan bahwa perusahaan telah menerapkan GCG. Dalam menjalankan tugasnya ia akan berkoordinasi dengan internal auditor. Komite audit akan menggunakan laporan dari internal auditor dalam menjalankan fungsi pengawasannya tersebut. Jadi, komite audit dan internal auditor akan bersinergi untuk memberikan informasi yang lebih akurat kepada dewan komisaris dalam mengambil keputusannya. Dengan begitu, dewan komisaris akan lebih optimal menjalankan fungsinya sebagai pengawas manajemen. Jadi keputusan dewan komisaris itu didasarkan atas fakta dari audit investigasi yang dilakukan oleh komite audit dan internal auditor.
            Meskipun hal yang telah dipaparkan di atas terlihat sebagai suatu sistem yang baik, ia masih memiliki kelemahan. Terkadang sistem tersebut tidak dapat ditangkap oleh praktek kolusi yang tertata rapih di dalam tubuh manajemen. Biasanya hal ini terungkap ke permukaan berkat pengakuan whistleblower. Whistleblower merupakan seseorang yang melaporkan praktek penyimpangan yang ada di dalam perusahaan. Biasanya seorang whistleblower ini kerap mendapatkan teror dan intimidasi atas tindakannya tersebut. Seseorang mungkin akan berpikir lebih baik tutup mulut daripada ia harus kehilangan pekerjaannya. Sarbanes Oxley Act telah mengatur agar perusahaan tidak menurunkan pangkat, skorsing, intimidasi, diskriminasi terhadap karyawan yang melaporkan penyimpangan. Sedangkan Indonesia telah mengakomodasinya dengan UU No.13 / 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan yang dimaksud dalam UU tersebut meliputi perlindungan fisik dan mental yang membahayakan diri, keluarga, dan harta bendanya, serta pertimbangan untuk memperoleh keringanan hukuman. Apakah peraturan tersebut telah cukup membesarkan nyali seseorang untuk mengungkapkan praktek kecurangan di tengah fakta bahwa supremasi hukum dan tingkat penerapan CG di Indonesia masih rendah? Sebenarnya dari mana harus kita mulai program perlindungan terhadap whistleblower ini? Pertama, kita harus memulai dengan menata praktek GCG dalam arti kita harus memastikan bahwa semua orang yang ditempatkan dalam elemen CG seperti dewan komisaris, komite audit, dan internal auditor adalah orang-orang yang memiliki independensi dalam menjalankan perannya. Mereka adalah para profesional yang kompeten serta tidak memiliki hubungan dengan manajemen. Kedua, untuk mendorong pengungkapan terhadap penyimpangan, sebaiknya dewan komisaris membuat program yang memberikan perlindungan kepada whistleblower apabila ia melaporkan sesuatu praktek yang menyimpang di perusahaan. Program tersebut seharusnya telah tersurat dengan jelas dalam code of conduct perusahaan. Program tersebut misalnya adalah membuka jalur komunikasi langsung dengan dewan komisaris, komite audit, ataupun internal auditor. Mereka harus merahasiakan identitas whistleblower ini dari pihak manajemen ataupun eksternal perusahaan. Jadi, sifat dari komunikasi ini adalah rahasia dan tidak akan dipublikasikan. Laporan adanya penyimpangan dari whistleblower ini kemudian digunakan sebagai dugaan awal untuk melakukan audit investigasi. Kemudian komite audit dan internal auditor membuat perencanaan program audit untuk membuktikan dugaan tersebut. Apabila dalam audit investigasi memang ditemukan penyimpangan, maka internal auditor dan komite audit akan menindaklanjuti hasil temuan dengan melaporkan hasilnya kepada dewan komisaris. Kemudian dewan komisaris akan membuat keputusan dari hasil investigasi yang dilakukan oleh komite audit dan internal auditor, bukan berdasarkan informasi yang disampaikan oleh whistleblower. Jadi keputusan dewan komisaris itu didasarkan atas fakta dari audit investigasi yang dilakukan oleh komite audit dan internal auditor. Penerapan ini memang tidak semudah dan sesingkat yang kita bayangkan.
            Banyak permasalahan yang menghambat terciptanya praktek GCG dan perlindungan terhadap whistleblower. Namun, kembali lagi kita sangat berharap kepada pihak regulator dalam hal ini  BEI, dan OJK yang sudah selayaknya membuat peraturan yang menuju ke arah sana serta mampu melakukan pengawasan terhadap ketaatan peraturan tersebut bagi para pelaku usaha.

KESIMPULAN
            Peran Akuntan sangatlah besar, khususnya dalam hal pertanggungjawaban profesi terhadap setiap hasil audit laporan keuangan suatu perusahaan yang diaudit dan diberi pendapat, karena profesi Akuntan memiliki akuntabilitas publik yang berarti dituntut pula dalam hal kejujuran, integritas dan akurasi dalam melaksanakan perkerjaannya.
            Untuk meningkatkan kinerja BUMN, reformasi melalui GCG adalah cara terbaik, dan pada dasarnya GCG mengatur soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan serta menerapkan prinsip dan etika anti-korupsi dalam berbisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar