Jumat, 28 Agustus 2015

Workshop E-faktur pajak


Kantor Jasa Akuntansi (KJA) Sentral Solusi Bisnis (SSB) menyelenggarakan Workshop e-Faktur yang memberikan suatu gambaran e-Faktur kepada Perusahaan, Tempat di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fakultas Ekonomi Jakarta tgl: Sabtu, 26 September 2015 Pendaftaran Rp1.000.000,- setiap peserta. (Bersertifikat, tempat terbatas) Cp:Aswinth M, SE AK CA. 081212122130
Sabtu, 26 September 2015
Narasumber/ Pembicara:
Pencipta E-faktur
(Pengajar Perpajakan Manajemen Indonesia)
Praktisi Perpajakan SejakTahun 2006 s.d.Sekarang
Aktif Juga Sebagai Akademisi Lembaga Brevet Perpajakan Jakarta
Narasumber Perpajakan Sejak 2007 s.d.Sekarang
Praktisi Pengembangan Aplikasi Akuntansi dan Perpajakan Indonesia

Materi :
Pajak Pertambahan Nilai dan Praktek Penggunaan Aplikasi e-Faktur
1. Overview PajakPertambahanNilai 2015
2. Installasi Aplikasi e-FakturPada Komputer/ Notebook
3. Penyimpanan Basis Data/ Databasee-Faktur
4. Backup Basis Data/ Databasee-Faktur
5. Tata Cara PembuatanFakturpadaAplikasie-Faktur
6. Tata Cara Cetak dan Penyimpanan Bentuk PDF
7. Tata Cara Membuat Data Pelaporan SPT (SPT PPN 1111 )
8. Tata Cara Dokumentasi e-Faktur
9. Penyelesaian Permasalahan Pada Komputer Saat Penggunaan
Aplikasi Pada Windows XP, Vista. 7 dan 8
10. SolusiJikaTerjadiKehilangan Data Akibat PC/Laptop Rusak

Pembayaran Pajak Dengan Menggunakan e-Billing Pajak
1. Tata Cara Pembuatan Akun e-Billing
2. Tata Cara Pengisian Billing Pajak
3. Tata Cara PembayaranMelalui Bank Persepsi
4. Tata Cara Dokumentasi Bukti PembayaranPajak

Terimakasih

Kamis, 20 Agustus 2015

“Workshop e-Faktur to be Professional.”



“Workshop e-Faktur to be Professional.”
 

Kantor Jasa Akuntansi (KJA) Sentral Solusi Bisnis (SSB) menyelenggarakan Workshop e-Faktur yang memberikan suatu gambaran e-Faktur kepada Perusahaan, Tempat di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fakultas Ekonomi Jakarta tgl: Sabtu, 26 September 2015 Pendaftaran Rp1.000.000,- setiap peserta. (tempat terbatas) Cp:Aswinth M, SE AK CA. 081212122130

Sabtu, 26 September 2015
Narasumber/ Pembicara:
Pembuat E-faktur
(Pengajar Perpajakan Manajemen Indonesia)
Praktisi Perpajakan SejakTahun 2006 s.d.Sekarang
Aktif Juga Sebagai Akademisi Lembaga Brevet Perpajakan Jakarta
Narasumber Perpajakan Sejak 2007 s.d.Sekarang
Praktisi Pengembangan Aplikasi Akuntansi dan Perpajakan Indonesia


Materi :
Pajak Pertambahan Nilai dan Praktek Penggunaan Aplikasi e-Faktur
1. Overview PajakPertambahanNilai 2015
2. Installasi Aplikasi e-FakturPada Komputer/ Notebook
3. Penyimpanan Basis Data/ Databasee-Faktur
4. Backup Basis Data/ Databasee-Faktur
5. Tata Cara PembuatanFakturpadaAplikasie-Faktur
6. Tata Cara Cetak dan Penyimpanan Bentuk PDF
7. Tata Cara Membuat Data Pelaporan SPT (SPT PPN 1111 )
8. Tata Cara Dokumentasi e-Faktur
9. Penyelesaian Permasalahan Pada Komputer Saat Penggunaan
Aplikasi Pada Windows XP, Vista. 7 dan 8
10. SolusiJikaTerjadiKehilangan Data Akibat PC/Laptop Rusak

Pembayaran Pajak Dengan Menggunakan e-Billing Pajak
1. Tata Cara Pembuatan Akun e-Billing
2. Tata Cara Pengisian Billing Pajak
3. Tata Cara PembayaranMelalui Bank Persepsi
4. Tata Cara Dokumentasi Bukti PembayaranPajak
Terimakasih

Kamis, 23 Juli 2015

definisi Penghindaran Pajak (tax avoidance)


Oleh Ibnu Wijaya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Salah satu definisi Penghindaran Pajak (tax avoidance) adalah “arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law” (Brown, 2012). Untuk memperjelas, penghindaran pajak umumnya dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax evasion), di mana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara “legal” dengan memanfaatkan celah (loopholes) yang terdapat dalam peraturan perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.
Penghindaran pajak sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning), di mana keduanya sama-sama menggunakan cara yang legal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kewajiban pajak. Akan tetapi, perencanaan pajak tidak diperdebatkan mengenai keabsahannya, sedangkan penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.
Batas antara penghindaran pajak dengan perencanaan pajak sering kali tidak jelas. Diskusi terkait sejauh mana batas yang diperkenankan untuk membedakan praktik perencanaan pajak yang dapat diterima dengan penghindaran pajak yang tidak dapat diterima merupakan subjek debat yang berkepanjangan dan sering diselesaikan melalui proses sampai ke tingkat pengadilan tertinggi. Artikel ini akan berusaha mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan untuk menentukan batas-batas tersebut, serta praktik yang digunakan untuk mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak.
The Westminster Principle
Berbicara mengenai penghindaran pajak tidak dapat dilepaskan dari suatu pandangan  bahwa karena tidak ada hukum yang dilanggar, penghindaran pajak seharusnya tidak dilarang. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sebagaimana dia kehendaki, dan selama tidak ada peraturan yang dilanggar maka otoritas pajak tidak dapat melakukan intervensi.
Pendapat tersebut di atas pertama kali disuarakan dalam putusan pengadilan tertinggi di Inggris dalam kasus yang sangat terkenal yang disebut The Duke of Westminster Case (IRC v Duke of Westminster, 1936). Kasus tersebut terkait dengan suatu kesepakatan antara The Duke of Westminster dengan tukang kebunnya untuk merubah pembayaran gaji tukang kebunnya tersebut menjadi pembayaran anuitas sebagai balas atas jasa-jasa yang telah dilakukan tukang kebunnya di masa lalu. Dalam peraturan perpajakan Inggris pada saat itu, pembayaran anuitas tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya Duke of Westminster, sedangkan pembayaran gaji merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan.
Komisaris pajak melakukan koreksi atas pembayaran tersebut, dengan menyatakan bahwa pembayaran anuitas tersebut secara substansi merupakan pembayaran gaji, sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Kasus tersebut berakhir di di pengadilan, di mana hakim menolak koreksi yang dilakukan oleh komisaris pajak tersebut dengan mengatakan:
Every man is entitled, if he can, to order his affairs so that the tax attaching under the appropriate Acts is less than it otherwise would be. If he succeeds in ordering them so as to secure this result, then, however unappreciative the Commissioners of Inland Revenue or his fellow taxpayers may be of his ingenuity, he cannot be compelled to pay an increased tax. (IRC v Duke of Westminster, 1936)
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster tersebut masih bergaung sampai dengan saat ini dan sering kali dikutip dalam beberapa putusan pengadilan yang menyangkut penghindaran pajak, termasuk di Indonesia di mana -walaupun tanpa sumber referensi-, prinsip tersebut dikutip dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor PUT. 29050/PP/M.III/13/2011, di mana hakim berpendapat: “...Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar undang-undang perpajakan...”
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster ini di negara asalnya pada akhirnya telah dibantah melalui kasus Ramsay (W. T. Ramsay v. IRC, 1982) di tahun 1982. Akan tetapi, secara umum doktrin Westminster masih sering dikutip untuk menekankan bahwa penghindaran pajak tidak dapat ditolak semata-mata karena penilaian subjektif dari Otoritas Pajak.
Melawan Penghindaran Pajak
Walaupun secara literal tidak ada hukum yang dilanggar, semua pihak sepakat bahwa penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara praktik tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan penghindaran pajak secara langsung berdampak pada tergerusnya basis pajak, yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak yang dibutuhkan oleh negara.
Dari sudut pandang kebijakan pajak, pembiaran terhadap praktik penghindaran pajak dapat mengakibatkan ketidakadilan dan berkurangnya efisiensi dari suatu sistem perpajakan. Penghindaran pajak umumnya dilakukan melalui skema-skema transaksi yang kompleks yang dirancang secara sistematis dan umumnya hanya dapat dilakukan oleh korporasi besar. Hal inilah yang menimbulkan persepsi ketidakadilan, di mana korporasi besar tampaknya membayar pajak yang lebih sedikit. Hal ini pada ujungnya dapat menimbulkan keengganan Wajib Pajak yang lain untuk membayar pajak yang berakibat pada inefektifitas sistem perpajakan.
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik penghindaran pajak (Arnold, 2008). Yang pertama dengan pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR) yaitu  ketentuan khusus dalam peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan; pertama pendekatan literal, di mana peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua, berseberangan dengan pendekatan pertama adalah pendekatanpurposive, di mana dalam menafsirkan peraturan juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut.
Judicial doctrine dalam melawan penghindaran pajak dikembangkan terutama oleh negara-negara yang peradilannya berani menggunakan pendekatan purposive dalam menafsirkan peraturan, karena sifat dari penghindaran pajak sebagaimana telah dijelaskan secara literal tidak bertentangan dengan teks yang tercantum dalam peraturan perpajakan, sehingga diperlukan penafsiran alternatif yang menyimpang dari teks peraturan.
Di negara-negara yang peradilannya masih cenderung menggunakan penafsiran literal, dapat dikatakan bahwa penggunaan judicial doctrine untuk melawan penghindaran pajak tidak banyak berkembang. Hal ini sering kali mendorong negara-negara untuk mencantumkan dalam peraturan perpajakannya ketentuan khusus dalam bentukstatutory general anti avoidance rule.
Judicial General Anti Avoidance Doctrine
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, judicial doctrine dikembangkan terutama dari putusan-putusan pengadilan terkait dengan penghindaran pajak. Berbagai yurisdiksi banyak mengembangkan judicial doctrinemasing-masing, dan pada paragraf berikut akan dijelaskan beberapa judicial doctrine yang paling umum digunakan.
Economic Substance Doctrine
Inti dari economic substance doctrine adalah bahwa suatu skema transaksi yang memiliki dampak berkurangnya beban pajak hanya dapat diakui apabila transaksi tersebut memiliki substansi ekonomi, dan mengandung pertimbangan selain pajak serta tidak semata-mata dilakukan untuk penghindaran pajak. (Arnold, 2008)
Economic substance doctrine berasal dari sebuah kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dimana Mr. Gregory, pemilik tunggal sebuah perusahaan yang memiliki surat berharga pada perusahaan lainnya. Mr Gregory kemudian membuat sebuah perusahaan baru dengan tujuan untuk mengkonversi penghasilan berupa ordinary income dari surat berharga tersebut yang dikenakan pajak menjadi capital gain yang berdasarkan peraturan pada saat itu tidak dikenakan pajak. (Gregory v. Helvering, 1935)
Dihadapkan pada skema tersebut, hakim yang menghakimi perkara tersebut mengeluarkan pendapat sebagai berikut:
Putting aside, then, the question of motive in respect of taxation altogether, and fixing the character of the proceeding by what actually occurred, what do we find? Simply an operation having no business or corporate purpose — a mere device which put on the form of a corporate reorganization as a disguise for concealing its real character ... (Gregory v. Helvering, 1935)
Doktrin ini kemudian dikutip dan dikembangkan lebih lanjut dalam putusan-putusan terkait dengan kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dan saat ini economic substance doctrine telah berkembang menjadi dengan apa yang dikenal sebagai two prong test, yaitu objective economic substance dan subjective business purpose. Tes tersebut menjelaskan bahwa sebuah skema penghindaran pajak dapat dibatalkan apabila (i) Wajib Pajak melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan bisnis selain untuk mengurangi pajak (ii) transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomis karena tidak ditemukan adanya kemungkinan keuntungan selain pajak. (Frank Lyon v. United States, 1978).
Step Transaction Doctrine
Step transaction doctrine juga diperkenalkan di Amerika Serikat, diantaranya digunakan dalam kasus Minnesota Tea Co. V. Helvering (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Dalam kasus tersebut, untuk membayar hutang perusahaan, Minnesota Tea Co. Melakukan reorganisasi perusahaan dengan menukar asetnya dan menerima saham dan sejumlah uang dari perusahaan lain. Uang tersebut dibagikan kepada pemegang sahamnya dalam bentuk distribusi laba, kemudian pemegang saham tersebut menyerahkan uang yang mereka terima kepada debitur dari Minnesota Tea Co. Akibat dari transaksi tersebut, karena berbentuk distribusi kepada pemegang saham maka tidak dikenakan pajak, walaupun secara substansi uang tersebut akhirnya diserahkan kepada pemegang saham tersebut kepada debitur perusahaan.
Dalam sidang banding, Hakim memutuskan untuk tidak menerima transaksi tersebut, dan membatalkan skema penghindaran pajak yang dilakukan. Kutipan dari pendapat hakim dalam putusannya sebagai berikut: “A given result at the end of a straight path is not made a different result because reached by following a devious path” (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Hakim pada intinya memutuskan bahwa karena ujung dari rangkaian transaksi tersebut adalah pelunasan hutang, maka secara perpajakan akan diperlakukan sebagai pembayaran utang yang dikenakan pajak.
Substance over Form Doctrine
Prinsip substance over form pada dasarnya menjelaskan bahwa hak dan kewajiban yang timbul secara formal sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak akan tetap diakui, akan tetapi karakterisasi dari transaksi yang dilakukan untuk tujuan pajak akan ditentukan berdasarkan bagaimana secara substansi peraturan perpajakan mengkarakterisasikan hasil dari transaksi tersebut (Arnold, 2008), sehingga berdasarkan prinsip ini, fakta dan konsekuensi perpajakan dari sebuah transaksi ditentukan berdasarkan substansi komersial yang timbul, dan tidak semata-mata dilihat dari bentuk formalnya. (Lampreave, 2012)
Doktrin substance over form merupakan salah satu doktrin yang paling dikenal di Indonesia, akan tetapi aplikasinya dalam praktik belum terlalu umum digunakan kecuali sebagai tambahan penguat argumen untuk dasar koreksi dalam pemeriksaan, seperti dalam penentuan beneficial owner, dividen terselubung dan lain sebagainya.
Statutory General Anti Avoidance Rule
Selain melalui pendekatan judicial doctrine, beberapa negara memilih pendekatan berbeda untuk mencegah penghindaran pajak, yaitu dengan membuat suatu statutory general anti avoidance rule berupa ketentuan khusus yang dicantumkan dalam peraturan perpajakannya yang bertujuan untuk melawan penghindaran pajak.
Walaupun dalam perumusannya menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, secara umum terdapat dua fitur utama yang tersirat dalam berbagai statutory GAAR yang diadopsi oleh berbagai negara, fitur tersebut yaitu (1) tujuan dari transaksi atau rangkaian transaksi yang terkait, (2) Apakah outcome dari transaksi tersebut selaras dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan perpajakan terkait. (Arnold, 2008)
Untuk memberikan gambaran penggunaan statutory general anti avoidance rule untuk melawan penghindaran pajak, berikut diuraikan praktik yang dilakukan oleh negara Australia dan Kanada dalam merancang sebuah statutory general anti avoidance rule.
Australia
Australia telah memiliki statutory general anti avoidance rule sejak tahun 1915, kemudian mengalami amandemen pertama di tahun 1936 dalam section 260 Income Tax Assessment Act 1936 dan kemudian di tahun 1981 menjadi Part IVA.
Dalam part IVA tersebut, diatur bahwa otoritas pajak berwenang untuk membatalkan tax benefit yang dihasilkan dari sebuah skema apabila dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari salah satu atau lebih pihak yang terkait dengan skema tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud (Brown, 2012).
Inti pengaturan dari statutory general anti avoidance rule di Australia dapat dilihat di section 177D dalam Part IVA, di mana diatur:
This part applies to any scheme ... where:
(a) a taxpayer ... has obtained or would ... obtain a tax benefit ... and
(b) ... it would be concluded that the person, or one of the persons, who entered into or carried out the scheme or any part of the scheme did so for the purpose of enabling the relevant taxpayer to obtain a tax benefit in connection with the scheme ...
Penerapan statutory general anti avoidance rule di Australia mencakup identifikasi suatu skema, penentuan adanyatax benefit, dan apakah dari fakta-fakta yang berkaitan dengan skema tersebut, dapat secara objektif disimpulkan bahwa tujuan dari pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud.
Dari drafting Part IVA, pendekatan yang digunakan oleh Otoritas Pajak Australia adalah menggunakan pendekatanpurpose atau tujuan, dalam hal ini yang dimaksud adalah predominant purpose atau main purpose yang ditentukan secara objektif dari para pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam skema penghindaran pajak dimaksud (Pagone, 2010).
Penggunaan main purpose test di Part IVA tersebut berdampak bahwa walaupun suatu skema penghindaran pajak masih memiliki tujuan komersial, akan tetapi apabila tujuan utamanya adalah penghindaran pajak tersebut skema tersebut tetap dapat dibatalkan menggunakan statutory general anti avoidance rule di Australia.
Kanada
Kanada memiliki statutory general anti avoidance rule dalam section 245 Undang-undang Pajaknya sejak tahun 1988, yang memberikan diskresi kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali untuk kepentingan perpajakan dampak dari suatu skema tax avoidance atau aggresive tax planning.
Transaksi avoidance dalam ketentuan perpajakan Kanada didefinisikan sebagai: “a transaction or series of transactions that would result, directly or indirectly, in a tax benefit, unless the transaction may reasonably be considered to have been undertaken or arranged primarily for bona fide purposes other than to obtain the tax benefit.” (Brown, 2012)
Dalam menentukan apakah suatu transaksi atau rangkaian transaksi dapat dikenakan ketentuan dalam statutory general anti avoidance rule, terdapat tiga pertanyaan atau tahapan yang harus dijawab, (1) apakah terdapat tax benefit? (2) apakah transaksi yang menimbulkan tax benefit tersebut memenuhi syarat sebagai transaksi avoidance?(3) apakah transaksi avoidance yang menimbulkan tax benefit tersebut abusive? (Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, 2005)
Jadi, berdasarkan ketentuan statutory general anti avoidance rule di Kanada, sebuah transaksi tax avoidance hanya dapat dibatalkan apabila transaksi tersebut abusive. Sebuah transaksi avoidance dikatakan abusive apabila dampak substansi ekonomis yang ditimbulkan dari transaksi tersebut walaupun selaras dengan teks peraturan, akan tetapi tidak selaras dengan apa yang menjadi maksud, semangat atau tujuan dari peraturan tersebut (Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari Australia yang menggunakan pendekatan tujuan dari pihak yang bertransaksi, Kanada menggunakan pendekatan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu peraturan dalam melawan penghindaran pajak. Dalam hal ini tujuan atau motif dari pihak atau para pihak yang melakukan transaksi avoidance tidak relevan dalam penerapan statutory general anti avoidance rule di Kanada.
Kesimpulan
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai.
Dalam melawan penghindaran pajak, saat ini dikenal dua pendekatan utama, pertama melalui judicial general anti avoidance  doctrine yang dikembangkan oleh pengadilan, kedua melalui sebuah statutory general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Belajar dari praktik di negara lain, dalam kasus Indonesia kedua pendekatan tersebut dapat dipertimbangkan, akan tetapi pendekatan pertama melalui judicial doctrine secara budaya hukum di Indonesia bisa jadi lebih sulit diterapkan karena penafsiran perundangan di Indonesia masih cenderung literal, sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa putusan pengadilan pajak yang dalam dasar koreksi pemeriksaan menggunakan doktrin substance over form.
Mempertimbangkan budaya penafsiran peraturan yang literal tersebut, untuk melawan penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi otoritas pajak Indonesia untuk mencoba menggunakan judicial doctrine yang sudah dikenal di negara lain sebagai test case dalam rangka mendorong pengadilan pajak untuk menerapkan doktrin-doktrin tersebut dalam menghadapi penghindaran pajak.
Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan sudah dikenal peraturanspecific anti avoidance rule dalam Pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu statutory general anti avoidance rule di Undang-undang perpajakan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut dalam peraturan mereka.
Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah statutory general anti avoidance rule perlu dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Jetentuan statutory general anti avoidance rule memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran pajak.
Diskresi luas yang diberikan oleh suatu general anti voidance rule juga rawan untuk disalahgunakan oleh otoritas pajak untuk melakukan koreksi yang kurang tepat, sehingga sering kali usaha untuk memperkenalan sebuah statutory general anti avoidance rule menghadapi perlawanan dari dunia usaha. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman di India, di mana penerapan statutory general anti avoidance rule yang diperkenalkan tahun 2012 di negara tersebut terpaksa ditunda pelaksanaannya sampai tahun 2016 karena penolakan dari dunia usaha.

Kamis, 25 Juni 2015

Mengenal e-faktur pajak PPN

Mengenal e-faktur pajak

Sebelum masuk materi efaktur , saya akan memberikan ilustrasi agar anda punya gambaran apa itu efaktur ”
“Misalnya Anda seorang PKP, pada tanggal 05 maret 2012 anda membei barang seharga 300 juta dari PT XZY , total yang harus anda bayarkan ke PT XZY adalah sebesar 300 jt + 30 jt (PPN 10%). pada masa pajak maret 2012 anda mengkreditkan Pajak masukan sebesar 30 juta tersebut dan sudah melaporkan ke kantor pelayann pajak terdaftar anda.
Tak disangka tak diduga :)  pada tanggal 02 Februari 2015 anda menerima surat teguran dari kantor pelayanan pajak bahwa pajak masukan sebesar 30 juta pada tanggal 05 maret 2012 tersebut terindikasi tidak sah dkarenakan pajak keluaran belum dilaporkan dan dibayakan oleh penjual anda /lawan transaksi.
Anda kemudian menghubungi pihak penjual tsb dan sudah tidak bisa dihubungi……dan memang si penjual tadi tidak pernah melaporkan pajak keluaran nya.   maka anda diminta untuk melakukan pembetulan / koreksi untuk menghilangkan pajak masukan tersebut sehingga akan timbul kurang bayar sebesar 30 juta :(
kisah pilu diatas itu jika menggunakan faktur manual, kalo menggunkan efaktur maka hal tersebut tidak akan terjadi lagi, cukup dari aplikasi efaktur tsb akan bisa diketahui apakah penjual sudah memasukkan faktur pajaknya atau belum. karena pembeli baru bisa mengklaim pajak masukan setelah penjual memasukkan pajak keluaranya di aplikasi efaktur.
Selanjutnya saya sarikan beberap point penting dari efaktur
Contoh efaktur seperti apa ?
contoh-efaktur
Apa itu efaktur ?
efaktur pajak atau faktur pajak elektronik adalah Faktur Pajak yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 1 ayat (1) Per 16/Pj/2014)
Apa manfaat efaktur pajak ?
A. Kenyamanan Pengusaha
Tanda tangan elektronik ( tidak perlu tanda tangan basah)
Tidak perlu printout ( boleh dicetak kalo diperlukan)
Satu kesatuan dengan pelaporan SPT (didalam aplikasi efaktur sudah ditanamkan aplikasi espt ppn)
B. Proteksi dari penyalahgunaan pihak yang tidak bertanggungjawab
Approval DJP (setiap faktur harus dilakukan upload faktur ke server DJP melalui aplikasi efaktur)
Validasi FP dapat diketahui oleh pihak pembeli (memastikan bahwa pajak keluaran sudah dilaporkan ke DJP)
Kapan diwajibkan menggunakan efaktur ?
Mulai 1 Juli 2014, bagi PKP tertentu (45 PKP) sebagaimana ditetapkan dalam KEP-136/PJ/2014;
Mulai 1 Juli 2015, bagi PKP yang terdaftar di KPP di wilayah Pulau Jawa dan Bali; dan
Mulai 1 Juli 2016, bagi seluruh PKP
Kalau Data e-Faktur Rusak atau Hilang, bagaimana ?
PKP dapat mengajukan permintaan data e-Faktur ke DJP (KPP tempat PKP dikukuhkan) dengan menyampaikan surat permintaan data e-Faktur
terbatas pada data e-Faktur yang telah diunggah (upload) ke DJP dan telah memperoleh persetujuan dari DJP (pasal 8 ayat (2) dan (3) per 16/pj/2014)
Bagaimana jika Hasil Cetak e-Faktur Rusak atau Hilang ?
bisa dicetak ulang melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam Hal Terjadi Keadaan Tertentu yang diluar kuasa PKP gimana ya ?
Jika keadaan tertentu tersebut membuat PKP tidak bisa membuat efaktur maka PKP diperkenankan membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy).
Keadaan Tertentu: keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa PKP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
jika keadaan sudah normal / keadaan tetentu tsb telah berakhir, data Faktur Pajak hardcopy yang dibuat  dalam keadaan tertentu diunggah ke DJP oleh PKP melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh DJP untuk mendapatkan (pasal 9 per 16/pj/2014)
Mata uang apa saja yang diperkenankan dalam efaktur ?
Hanya mata uang rupiah, jika ada transaksi dalam mata uang dolar harus dilakukan konversi dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Operating sistem apa yang bisa di support oleh espt ini ?
Operating sistem komputer yang bisa digunakan untuk menjalankan efaktur adalah windows, linux dan mac
Kalo sudah ada efaktur  apakah tetap perlu lapor espt ?
Tetap perlu lapor seperti biasanya, didalam aplikasi efaktur ini sudah ada aplikasi espt.
Bisakah saya berlatih menggunakan efaktur ?
Bisa, telah disediakan efaktur versi demo / latihan, bisa di download di akhir tulisan ini
Sementara itu dulu kali ya, untuk lebih lengkapnya silahkan download materi sosialisasi
Referensi :
1. Undang-Undang PPN Tahun 2009,  Pasal 13 (8)
2. Peraturan Menteri Keuangan. Nomor 151/PMK.03/2014
3. Peraturan Dirjen Pajak, PER-17/PJ/2014
4. Peraturan Dirjen Pajak, PER-24/PJ/2014
5. Keputusan Dirjen Pajak, KEP-136/PJ/2014

Kantor Jasa Akuntansi Sentral Solusi Bisnis
Alamat kami dapat dihubungi di:
Ruko Malaka Country Blok A/5 Jl. Raya Pondok Kopi, Jakarta Timur 13460
Telp. 0859-21179451 /081296289597/ 081381491055
E-Mail: sentralsb@gmail.com
http://jasa-laporan-keuangan-pajak-audit.blogspot.com/

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 10% Untuk Barang Tertentu

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 10% Untuk Barang Tertentu

Pemerintah kembali mengubah ketentuan mengenai pengenaan PPh Pasal 22 atas impor barang yaitu dengan menaikkan tarif PPh Pasal 22 impor atas beberapa jenis barang sehingga tarifnya menjadi 10% dari nilai impor. Perubahan ketentuan mengenai pengenaan PPh Pasal 22 atas impor barang ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 tanggal 8 Juni 2015 yang merupakan perubahan yang keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010.

Dalam ketentuan ini, ada perubahan tarif pemungutan PPh Pasal 22 impor terhadap beberapa jenis kegiatan impor barang sehingga tarif selengkapnya menjadi:
  1. Barang tertentu (sebagaimana tercantum di Lampiran I), PPh Pasal 22 impor adalah 10% dari nilai impor;
  2. Barang tertentu lainnya (sebagaimana tercantum di Lampiran II), PPh Pasal 22 impor adalah 7,5% dari nilai impor;
  3. Selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya, PPh Pasal 22 impornya bagi yang menggunakan API adalah sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor;
  4. Selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya, PPh Pasal 22 impornya bagi yang tidak menggunakan API adalah sebesar 7,5% dari nilai impor; dan/atau
  5. barang yang tidak dikuasai adalah sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Beberapa barang yang atas impornya dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 10% sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 adalah:
  1. parfum dan cairan pewangi
  2. pakaian dan aksesori pakaian dari karet divulkasinasi
  3. peti, kopor, tas perempuan, tas eksekutif, tas kantor, tas sekolah, dompet kacamata, tas teropong, tas kamera, tas peralatan musik, kopor senjata, sarung pistol dan kemasan semacamnya, tas travel, tas makanan/minuman, tas rias, ransel, dompet, tempat botol, kotak perhiasan, tempat pisau dan sejenisnya.
  4. pakaian dan aksesori pakaian dari kulit samak atau kulit komposisi
  5. pakaian, aksesori pakaian dan barang lainnya dari kulit berbulu
  6. karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan, sudah jadi maupun belum jadi,
  7. karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, tenunan
  8. garmen dibuat dari kain rajutan, pakaian selam
  9. alas kaki
  10. batu monumen dan batu bangunan seperti marmer, granit
  11. bak cuci, wastafel, alas baskom cuci, bak mandi, kloset, tangki air pembilasan, tempat kencing, dan perlengkapan saniter sejenis dari keramik
  12. barang dari jenis kaca untuk meja, dapur, toilet, kantor, dekorasi ruangan dan sejenisnya
  13. barang hasil tempaan pandai emas atau perak dan barang lainnya dari logam mulia
  14. barang dari mutiara alam atau mutiara budidaya, batu mulia atau batu semi mulia
  15. tungku, kompor, alat masak, panggangan besar, anglo, gelang gas, piring pemanas dan peralatan rumah tangga tanpa listrik
  16. mesin pengatur suhu udara
  17. lemari pendingin, lemari pembeku, pompa panas
  18. perlengkapan mesin, pabrik atau laboratorium
  19. mesin cuci tipe rumah tangga atau binatu, termasuk mesin yang dapat digunakan untuk mencuci dan mengeringkan.
  20. pemanas air instan atau pemanas air dengan tempat penyimpanan dan pemanas celup, listrik
  21. aparatus perekam atau pereproduksi video, digabung dengan video tuner maupun tidak
  22. aparatus transmisi untuk penyiaran radio atau televisi digabung dengan aparatus penerima atau dengan aparatus perekam suara maupun tidak, kamera televisi, kamera digital dan kamera perekam video
  23. monitor dan proyektor, tidak digabung dengan aparatus penerima televisi, aparatus penerima untuk televisi, digabung dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi suara atau video, maupun tidak.
  24. yacht dan kendaraan air lainnya untuk pelesir atau olah raga, sampan dan kano
  25. kacamata, kacamata pelindung dan sejenisnya, korektif, protektif atau lainnya
  26. arloji tangan, arloji saku dan lainnya dengan badan arloji dari logam mulia
  27. jam dengan penggerak jam
  28. jam panel instrumen dan jam tipe semacam untuk kendaraan darat, kendaraan udara, kendaraan luar angkasa dan kendaraan air.
  29. jam lainnya
  30. piano, parpsichord, dan instrumen keyboard bersenar lainnya
  31. instrumen musik dengan suara yang dihasilkan atau diperkuat, secara elektrik (seperti organ, gitar, akordeon)
  32. tempat duduk yang dapat diubah menjadi tempat tidur maupun tidak dan bagiannya
  33. perabotan lainnya
  34. alas kasur, barang keperluan tidur dan perabotan sejenis
  35. lampu dan alat kelengkapan penerangan
  36. barang untuk perlengkapan latihan fisik, gimnastik, atletik, olahraga
  37. tongkat golf dan perlengkapan golf lainnya
  38. joran, mata kail, penggulung tali pancing
Ketentuan ini berlaku setelah 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkan (diundangkan tanggal 9 Juni 2015).

Selasa, 16 Juni 2015

“Governance, Syarat Mutlak Bersaing di Era Digital Economy”



“Governance, Syarat Mutlak Bersaing di Era Digital Economy”

Era digital economy adalah tantangan terbesar penerapan good governance. Perlu tools yang lebih relevan untuk memecahkan persoalan di abad ke-22.

Revolusi industri di era digital menghasilkan perubahan radikal dalam berbagai proses bisnis di dunia. E-commerce sebagai awal mula model bisnis digital telah mengindikasikan itu. Namun pola bisnis baru ini bukannya tanpa risiko. Fraud berkembang ke arah baru yang sebelumnya tidak dikenal di bisnis konvensional.
“Governance di bisnis e-commerce perlu dipastikan sebelum model bisnis ini menjadi tulang punggung ekonomi dunia,” ingat Anggota Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Prof. Sidharta Utama.
Corporate governance bisa dipandang sebagai cara yang ditempuh perusahaan mengatur dirinya sendiri. Corporate governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan dan meminimalkan risiko yang mungkin timbul, baik bagi pihak internal maupun eksternal.
Kegagalan bisnis, skandal keuangan, dan krisis ekonomi di sejumlah negara, dewasa ini semakin mengalihkan fokus para pengambil keputusan akan pentingnya penyelenggaraan  tata kelola perusahaan yang baik alias good corporate governance (GCG). Fenomena yang memungkinkan perusahaan untuk tumbuh berkembang melalui modal atau hutang, ikut memengaruhi kondisi GCG di kebanyakan perusahaan.
Sejak 1992, lusinan negara telah memulai inisiatif untuk meningkatkan sistem GCG di negaranya. Di negara-negara Asia, pengembangan GCG di level perusahaan telah menjadi bagian penting dari reformasi ekonomi dalam rangka memutus rantai krisis ekonomi yang selalu berulang.
Sebuah riset dari McKinsey & Company menyebutkan para fund managers di Asia akan membayar sekitar 26-30% lebih tinggi terhadap saham-saham perusahaan yang telah teruji mengimplementasikan GCG, ketimbang perusahaan yang diragukan komitmennya. Itu berarti GCG membuka akses lebih besar bagi perusahaan ke international capital.
Itu juga berlaku di dunia digital. Karena itu, aspek governance bisnis dunia maya itu tetap harus menjadi prioritas layaknya perusahaan bisnis konvensional. “Bicara governance di perusahaan online sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang offline. Tapi mestinya level governance di e-commerce porsinya lebih tinggi agar aksi fraud bisa dieliminir. Sebab customer trust menjadi penting di bisnis ini,” lanjut guru besar akuntansi UI ini.

Implementasi Governance di e-Commerce
Anggota DPN IAI, Rosita Uli Sinaga menegaskan, bisnis e-commerce memang relatif kurang dapat dikontrol dengan baik oleh regulator atau pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus segera terlibat untuk memonitoring bisnis ini, sehingga dapat memastikan GCG-nya. “Monitoring dan controlling wajib dilakukan karena bisnis ini rentan fraud, terutama untuk website online yang kurang trusted,” jelas Rosita.
Namun ia bersyukur, pemerintah sudah mau menyusun roadmap e-commerce, sehingga governance-nya akan menjadi perhatian utama. “Sama seperti bisnis konvensional, bisnis e-commerce wajib melakukan registrasi dan sertifikasi. Dan itu harus dicantumkan dengan jelas di website-nya itu bahwa bisnis ini memang teregister. Ini untuk menjaga kepercayaan publik,” jelas Rosita.
Selain itu, dalam rangka mengusung governance itu perlu juga ditopang assessor independen untuk meng-assess kebenaran dan keamanannya, agar jaminan keamanan betul-betul ada. Hal ini pun terjadi di beberapa negara maju yang sudah unggul dalam bisnis e-commerce.
Pemerhati e-commerce dari ICT Research, Heru Sutadi, mengakui masalah penipuan di bisnis ini cukup tinggi. Ia menilai diperlukan adanya sertifikasi atau akreditasi bagi pelaku bisnis e-commerce sehingga kepentingan publik terjaga.
“Sertifikasi akan membuat publik lebih percaya. Karena bisnis ini kan intinya kepercayaan,” ujar Heru. “Pemerintah perlu juga membuat white list atau black list bagi pelaku e-commerce. Agar publik semakin mendapat panduan yang bagus,” imbuhnya.

Evolusi Akuntansi
Technical Advisor IAI, Ersa Tri Wahyuni mengatakan, tantangan akuntansi bisnis e-commerce sebagai cikal bakal model bisnis masa depan adalah reliability system dan model bisnisnya. Bisnis e-commerce yang tradisional seperti amazon mungkin lebih mudah dipahami. Penghitungan revenue-nya jelas, ketika barang sudah dikirim. Kemudian e-bay mendapatkan komisi dari yang penjual barang melalui situs itu. Namun karena semuanya dilakukan oleh sistem, menurut Ersa, integritas sistemnya harus bagus dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang lebih rumit adalah bagaimana perhitungan revenue dari e-commerce lain semisal Twitter, Facebook, ataupun model e-commerce yang lebih maju. “Yang seperti ini lebih susah mengukurnya. Memang sih dari pendapatan iklan, tapi Twitter dan Facebook bisa saja mengklaim bahwa mereka punya akun sekian juta, padahal banyak akun bodong yang tidak aktif,” jelas Ersa. “Akun yang diklaim sekian juta itu menjadi network capital dari e-commerce, tapi sebenarnya bila ditelusuri berapa banyak dari akun tersebut yang aktif, mungkin angkanya tidak sebesar yang diklaim,” Ersa menambahkan. 
Selain itu, banyak juga perusahaan e-comerce yang mengapitalisasi biaya pengembangan website mereka. Padahal belum jelas apakah akan menghasilkan economic benefit. Khusus untuk hal ini, ada IFRIC/ISAK yang terkait bagaimana perusahaan bisa mengapitalisasi biaya pengembangan website mereka. Tidak bisa sembarangan karena harus bisa dibuktikan bahwa website-nya bisa menghasilkan uang. 
Sementara untuk transaksi bisnis lainnya, Ersa berpendapat tidak ada perbedaan antara bisnis biasa dengan e-commerce. “Hanya kalau e-commerce semuanya dilakukan melalui sistem, tapi pada intinya sama. Misalnya revenue recognition criteria, dan lainnya. Jadi tidak perlu standar akuntansi yang terpisah,” jelas Ersa.
Namun tidak menutup kemungkinan ketika business process berkembang sedemikian rupa, akan ada kebutuhan akan pedoman atau infrastruktur akuntansi untuk meng-capture perubahan yang terjadi. Karena pada dasarnya, akuntansi yang merupakan satu subsistem dari makro sistem ekonomi kapitalis secara langsung maupun tidak langsung menjadikan kapitalisme berkembang dan menempati kemapanan eksistensi seperti sekarang. Seperti dikatakan Prof. Iwan Triyuwono, akuntansi mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan sistem ekonomi kapitalis. Akuntansi juga akan berevolusi seiring tuntutan zaman karena ia akan terus menjadi tools untuk memastikan good governance dalam kondisi apapun dapat diterapkan. *DED/TOM
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Juni – Juli 2015)
CA, Tentukan Kesuksesanmu!

Kantor Jasa Akuntansi Sentral Solusi Bisnis
Alamat kami dapat dihubungi di:
Ruko Malaka Country Blok A/5 Jl. Raya Pondok Kopi, Jakarta Timur 13460
Telp. 0859-21179451 /081296289597/ 081381491055
E-Mail: sentralsb@gmail.com
http://jasa-laporan-keuangan-pajak-audit.blogspot.com/