Selasa, 16 Juni 2015

“Governance, Syarat Mutlak Bersaing di Era Digital Economy”



“Governance, Syarat Mutlak Bersaing di Era Digital Economy”

Era digital economy adalah tantangan terbesar penerapan good governance. Perlu tools yang lebih relevan untuk memecahkan persoalan di abad ke-22.

Revolusi industri di era digital menghasilkan perubahan radikal dalam berbagai proses bisnis di dunia. E-commerce sebagai awal mula model bisnis digital telah mengindikasikan itu. Namun pola bisnis baru ini bukannya tanpa risiko. Fraud berkembang ke arah baru yang sebelumnya tidak dikenal di bisnis konvensional.
“Governance di bisnis e-commerce perlu dipastikan sebelum model bisnis ini menjadi tulang punggung ekonomi dunia,” ingat Anggota Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Prof. Sidharta Utama.
Corporate governance bisa dipandang sebagai cara yang ditempuh perusahaan mengatur dirinya sendiri. Corporate governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan dan meminimalkan risiko yang mungkin timbul, baik bagi pihak internal maupun eksternal.
Kegagalan bisnis, skandal keuangan, dan krisis ekonomi di sejumlah negara, dewasa ini semakin mengalihkan fokus para pengambil keputusan akan pentingnya penyelenggaraan  tata kelola perusahaan yang baik alias good corporate governance (GCG). Fenomena yang memungkinkan perusahaan untuk tumbuh berkembang melalui modal atau hutang, ikut memengaruhi kondisi GCG di kebanyakan perusahaan.
Sejak 1992, lusinan negara telah memulai inisiatif untuk meningkatkan sistem GCG di negaranya. Di negara-negara Asia, pengembangan GCG di level perusahaan telah menjadi bagian penting dari reformasi ekonomi dalam rangka memutus rantai krisis ekonomi yang selalu berulang.
Sebuah riset dari McKinsey & Company menyebutkan para fund managers di Asia akan membayar sekitar 26-30% lebih tinggi terhadap saham-saham perusahaan yang telah teruji mengimplementasikan GCG, ketimbang perusahaan yang diragukan komitmennya. Itu berarti GCG membuka akses lebih besar bagi perusahaan ke international capital.
Itu juga berlaku di dunia digital. Karena itu, aspek governance bisnis dunia maya itu tetap harus menjadi prioritas layaknya perusahaan bisnis konvensional. “Bicara governance di perusahaan online sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang offline. Tapi mestinya level governance di e-commerce porsinya lebih tinggi agar aksi fraud bisa dieliminir. Sebab customer trust menjadi penting di bisnis ini,” lanjut guru besar akuntansi UI ini.

Implementasi Governance di e-Commerce
Anggota DPN IAI, Rosita Uli Sinaga menegaskan, bisnis e-commerce memang relatif kurang dapat dikontrol dengan baik oleh regulator atau pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus segera terlibat untuk memonitoring bisnis ini, sehingga dapat memastikan GCG-nya. “Monitoring dan controlling wajib dilakukan karena bisnis ini rentan fraud, terutama untuk website online yang kurang trusted,” jelas Rosita.
Namun ia bersyukur, pemerintah sudah mau menyusun roadmap e-commerce, sehingga governance-nya akan menjadi perhatian utama. “Sama seperti bisnis konvensional, bisnis e-commerce wajib melakukan registrasi dan sertifikasi. Dan itu harus dicantumkan dengan jelas di website-nya itu bahwa bisnis ini memang teregister. Ini untuk menjaga kepercayaan publik,” jelas Rosita.
Selain itu, dalam rangka mengusung governance itu perlu juga ditopang assessor independen untuk meng-assess kebenaran dan keamanannya, agar jaminan keamanan betul-betul ada. Hal ini pun terjadi di beberapa negara maju yang sudah unggul dalam bisnis e-commerce.
Pemerhati e-commerce dari ICT Research, Heru Sutadi, mengakui masalah penipuan di bisnis ini cukup tinggi. Ia menilai diperlukan adanya sertifikasi atau akreditasi bagi pelaku bisnis e-commerce sehingga kepentingan publik terjaga.
“Sertifikasi akan membuat publik lebih percaya. Karena bisnis ini kan intinya kepercayaan,” ujar Heru. “Pemerintah perlu juga membuat white list atau black list bagi pelaku e-commerce. Agar publik semakin mendapat panduan yang bagus,” imbuhnya.

Evolusi Akuntansi
Technical Advisor IAI, Ersa Tri Wahyuni mengatakan, tantangan akuntansi bisnis e-commerce sebagai cikal bakal model bisnis masa depan adalah reliability system dan model bisnisnya. Bisnis e-commerce yang tradisional seperti amazon mungkin lebih mudah dipahami. Penghitungan revenue-nya jelas, ketika barang sudah dikirim. Kemudian e-bay mendapatkan komisi dari yang penjual barang melalui situs itu. Namun karena semuanya dilakukan oleh sistem, menurut Ersa, integritas sistemnya harus bagus dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang lebih rumit adalah bagaimana perhitungan revenue dari e-commerce lain semisal Twitter, Facebook, ataupun model e-commerce yang lebih maju. “Yang seperti ini lebih susah mengukurnya. Memang sih dari pendapatan iklan, tapi Twitter dan Facebook bisa saja mengklaim bahwa mereka punya akun sekian juta, padahal banyak akun bodong yang tidak aktif,” jelas Ersa. “Akun yang diklaim sekian juta itu menjadi network capital dari e-commerce, tapi sebenarnya bila ditelusuri berapa banyak dari akun tersebut yang aktif, mungkin angkanya tidak sebesar yang diklaim,” Ersa menambahkan. 
Selain itu, banyak juga perusahaan e-comerce yang mengapitalisasi biaya pengembangan website mereka. Padahal belum jelas apakah akan menghasilkan economic benefit. Khusus untuk hal ini, ada IFRIC/ISAK yang terkait bagaimana perusahaan bisa mengapitalisasi biaya pengembangan website mereka. Tidak bisa sembarangan karena harus bisa dibuktikan bahwa website-nya bisa menghasilkan uang. 
Sementara untuk transaksi bisnis lainnya, Ersa berpendapat tidak ada perbedaan antara bisnis biasa dengan e-commerce. “Hanya kalau e-commerce semuanya dilakukan melalui sistem, tapi pada intinya sama. Misalnya revenue recognition criteria, dan lainnya. Jadi tidak perlu standar akuntansi yang terpisah,” jelas Ersa.
Namun tidak menutup kemungkinan ketika business process berkembang sedemikian rupa, akan ada kebutuhan akan pedoman atau infrastruktur akuntansi untuk meng-capture perubahan yang terjadi. Karena pada dasarnya, akuntansi yang merupakan satu subsistem dari makro sistem ekonomi kapitalis secara langsung maupun tidak langsung menjadikan kapitalisme berkembang dan menempati kemapanan eksistensi seperti sekarang. Seperti dikatakan Prof. Iwan Triyuwono, akuntansi mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan sistem ekonomi kapitalis. Akuntansi juga akan berevolusi seiring tuntutan zaman karena ia akan terus menjadi tools untuk memastikan good governance dalam kondisi apapun dapat diterapkan. *DED/TOM
(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Juni – Juli 2015)
CA, Tentukan Kesuksesanmu!

Kantor Jasa Akuntansi Sentral Solusi Bisnis
Alamat kami dapat dihubungi di:
Ruko Malaka Country Blok A/5 Jl. Raya Pondok Kopi, Jakarta Timur 13460
Telp. 0859-21179451 /081296289597/ 081381491055
E-Mail: sentralsb@gmail.com
http://jasa-laporan-keuangan-pajak-audit.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar