Selasa, 16 Desember 2014

Kepailitan

Kepailitan

Pengertian
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan, bahwa yang dimasudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bangkrut, dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Namun demikian, pada umumnya bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur.
Dalam hubungan ini dapat pula diberlakukan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan), yang menyatakan:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.
Dengan demikian, segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Istilah berhenti membayar tersebut dalam Pasal 1 Undang-undang Kepailitan, tidak harus diartikan yakni si debitur berhenti untuk sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut (Putusan Pengadilan Tinggi No. 171/Perd./ PTB, tanggal 31 Juli 1973).
Dengan demikian, kepailitan mempunyai makna ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitur maupun kreditur melalui pranata hukum kepailitan.
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang:
Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.
Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Syarat dan Putusan Pailit
Sesuai Undang Undang Nomor 37 tahun 2004 Pasal 2 tentang syarat dan putusan pailit adalah sebagai berikut:
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
3. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
4. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
5. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Mekanisme permohonan pernyataan pailit dijelaskan dalam Pasal 6 Undang-undang Kepailitan yaitu, permohonan diajukan ke Ketua Pengadilan. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Kepailitan).
a. Permohonan ditujukan ke Ketua Pengadilan Niaga.
b. Panitera mendaftarkan permohonan.
c. Sidang dilakukan paling lambat 20 hari setelah permohonan didaftar.
d. Bila alasan cukup Pengadilan dapat menunda paling lambat 25 hari.
e. Pemeriksaan paling lambat 20 hari (Pasal 6 ayat (6) Undang-undang Kepailitan).
f. Hakim dapat menunda 25 hari (Pasal 8 ayat (7) Undang-undang Kepailitan).
g. Pemanggilan dilakukan 7 hari sebelum sidang dilakukan.
h. Putusan Pengadilan paling lambat 60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) Undang-undang Kepailitan).
Prosedur pengajuan permohonan pailit dalam pelaksanannya, adalah permohonan pailit ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga tempat kedudukan hukum debitur, yang diajukan secara tertulis dibuat rangkap 6 (enam), aslinya ditandatangani di atas materai. Apabila termohon pailit lebih dari satu, maka surat permohonan pailit ditambah sesuai dengan banyak jumlah termohon pailit. Permohonan pailit harus diajukan oleh seorang advokat, kecuali diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan. Melampirkan daftar bukti berikut bukti-bukti yang sudah dinazegelen dan surat kuasa khusus yang harus didaftarkan terlebih dahulu di kepaniteraan Pengadilan Niaga, selanjutnya melakukan pembayaran SKUM sebagai uang panjar perkara. Setelah permohonan lengkap, maka Panitera menyampaikan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan pailit didaftarkan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Kepailitan tersebut diatas.

Sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Th. 2004 “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pailit
A. Pihak termohon pailit
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yaitu pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (Pasal 2) maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah salah satu dari pihak berikut ini :
1. Pihak debitur itu sendiri.
2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditur.
3. Pihak Kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum.
4. Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank.
5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek.
6. Menteri Keuangan jika debiturnya yang bergerak di bidang kepentingan publik. Misal : Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara.

B. Pihak debitur pailit
Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan pailit ke Pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat dilakukan penagihan

C. Hakim Niaga
Perkara kepailitan diperiksa oleh Hakim Majelis (tidak boleh Hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Hanya untuk perkara perniagaan lainnya yakni yang bukan perkara kepailitan untuk tingkat Pengadilan pertama yang boleh diperiksa oleh Hakim tungal dengan penetapan Mahkamah Agung (Pasal 302 Undang undang Kepailitan). Hakim Majelis tersebut merupakan Hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni Hakim-hakim Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi Hakim Pengadilan Niaga berdasarkan keputusan

D. Hakim Pengawas
Dalam pengawasan pelaksanaan pemberesan harta pailit, maka dalam keputusan kepailitan, oleh Pengadilan harus diangkat seorang Hakim Pengawas di samping pengangkatan Kurator. Di antara tugas dan wewenang dari Hakim Pengawas menurut Undang-undang Kepailitan sebagai berikut :
1. Menetapkan jangka waktu tentang pelaksanaan perjanjian yang masih berlangsung antara debitur dengan pihak krediturnya, jika antara pihak kreditur dengan pihak Kurator tidak tercapai kata sepakat tersebut (Pasal 36 Undang-undang Kepailitan).
2. Memberikan putusan atas permohonan kreditur atau pihak ketiga yang berkepentingan yang haknya ditangguhkan untuk mengangkat penangguhan apabila Kurator menolak permohonan pengangkatan penanggunan tersebut (Pasal 56 Undang-undang Kepailitan).
3. Memberikan persetujuan kepada Kurator apabila pihak Kurator menjaminkan harta pailit kepada pihak ketiga atas pinjaman yang dilakukan Kurator dari piahk ketiga tersebut (Pasal 69 ayar (3) Undang-undang Kepailitan).
4. Memberikan izin bagi pihak Kurator apabila ingin menghadap di muka Pengadilan, kecuali untuk hal-hal tertentu (Pasal 69 ayat (5) Undang-undang Kepailitan).
5. Menerima laporan dari pihak Kurator tiap tiga bulan sekali mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya (Pasal 74 ayat (1)Undang-undang Kepailitan).
6. Memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) tersebut di atas (Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Kepailitan).
7. Menawarkan kepada kreditur untuk membentuk panitia kreditur setelah pencocokan utang selesai dilakukan (Pasal 80 Undang-undang Kepailitan).
8. Apabila dalam putusan pernyataan pailit telah ditunjuk panitia kreditur sementara, mengganti panitia kreditur sementara tersebut atas permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara simple majority (Pasal 80 ayat (2) (a) Undang-undang Kepailitan).
9. Apabila dalam putusan pernyataan pailit belum diangkat panitia kreditur, membentuk panitia kreditur atas permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara simple majority (Pasal 80 ayat (2) (b) Undangundang Kepailitan).
10. Menetapkan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditur pertama (Pasal 85 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
11. Menyampaikan kepada Kurator rencana penyelenggaraan rapat kreditur pertama (Pasal 86 ayat (2) Undang-undang Kepailitan).
12. Memberikan persetujuan untuk dilakukannya penyegelan atas harta pailit oleh Hakim Pengawas dengan alasan untuk mengamankan harta pailit (Pasal 99 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
13. Apabila tidak diangkat panitia kreditur dalam putusan pernyataan pailit, maka Hakim Pengawas dapat memberikan persetujuan kepada Kurator untuk melanjutkan usaha debitur, sungguhpun ada kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
14. Memberikan persetujuan kepada Kurator untuk mengalihkan harta pailit sepanjang diperlukan untuk menutup ongkos kepailitan atau apabila penahanannya akan mengakibatkan kerugian pada harga pailit, meskipun ada kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 107 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).

D. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam suatu proses perkara pailit. Dan karena peranannya yang besar dan tugasnya yang berat, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi pihak Kurator. Dalam Pasal 69 Undang-undang Kepailitan disebutkan, tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. Karena itu pula maka persyaratan dan prosedur untuk dapat menjadi Kurator ini oleh Undang-undang Kepailitan diatur secara relatif ketat. Sewaktu masih berlakunya peraturan kepailitan zaman Belanda, hanya Balai Harta Peninggalan (BHP) saja yang dapat menjadi Kurator tersebut. Dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yang dapat bertindak menjadi Kurator sekarang adalah sebagai berikut :
1. Balai Harta Peninggalan (BHP)
2. Kurator lainnya.
Untuk jenis Kurator lainnya, dalam Pasal 70 ayat (2), (a), (b) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yaitu Kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan adalah mereka yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit.
b. Telah terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundangundangan.
Dalam penjelasan Pasal 70 ayat (2) huruf (a) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus.
Dalam penjelasan Pasal 70 ayat (2) huruf (b) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yang dimaksud dengan terdaftar adalah telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan anggota aktif organisasi profesi Kurator dan pengurus.

E. Panitia kreditur
Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah apa yang disebut Panitia Kreditur. Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam panitia kreditur yang diperkenalkan oleh Undang-undang Kepailitan, yaitu :
1. Panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit).
2. Panitia kreditur (tetap) yakni yang dibentuk oleh Hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara.
Dalam Pasal 79 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, Pengadilan dapat membentuk Panitia Kreditur (sementara) yang terdiri dari tiga (3) orang yang dipilih dari Kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada Kurator. Yang dimaksud dengan Kreditur yang sudah dikenal adalah Kreditur yang sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Atas permintaan kreditur konkuren, dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), Hakim pengawas berwenang menggantikan panitia kreditur sementara dangan panitia kreditur (tetap), atau membentuk panitia kreditur (tetap) jika tidak diangkat panitia diangkat sementara. Dalam hal ini, Hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur.
Dengan demikian, jika sudah dilakukan penyocokan utang, maka Hakim pengawas akan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam Undang undang Kepailitan disebutkan Hakim pengawas menawarkan membentuk panitia kreditur tetap. Dalam menjalankan tugasnya panitia kreditur tetap berhak meminta semua dokumen yang berkaitan dengan kepailitan. Bertanggung jawab memberikan nasihat kepada kreditur.


Upaya hukum kepailitan
A. Kasasi
Apabila pemohon tidak puas atau keberatan atas putusan pada tingkat pertama, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kasasi, sebagai tingkat terakhir. Tidak ada tingkat banding atau tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali.
Dalam Pasal 11 Undang-udang Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu :
1. Upaya hukum terhadap putusan pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
2. Permohonan Kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan.
3. Sidang permohonan Kasasi paling lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima.
4. Putusan Kasasi dapat diajukan Peninjauan Kembali.
Pada umumnya dalam perkara perdata atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat terakhir. Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri. Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hukum biasa yang dapat ditempuh.
Alasan-alasan permohonan kasasi pada perkara kepailitan sama dengan alasan-alasan kasasi perkara-perkara perdata umum, yaitu :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Hal ini dapat diperiksa pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lemabaran Negara tahun 1985 Nomor 73, Bab III. Pasal 30, sedang hukum acara bagi Mahkamah Agung berlaku Bab IV, Pasal 40-78.



B. Peninjauan kembali
Pemeriksaan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan perkara kepailitan pada tingkat pertama, yang telah berkekuatan tetap, hukum acaranya berbeda dengan sistem dan prosedural dengan hukum acara pada perkara perdata umum.
Sidang permohonan pemeriksaam peninjauan kembali, dalam Pasal 13 juncto Pasal 14 Undang-undang Kepailitan disebutkan, sidang permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali paling lambat 20 hari putusan diucapkan paling lambat 60 hari. Dalam Pasal 295 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yaitu :
1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan tetap, dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
2. Permohonan peninjauan kembali diajukan bila :
a. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, artinya ditemukan bukti baru yang menentukan.
b. Dalam putusan Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, artinya ada kekeliruan yang nyata.
Jangka waktu permohonan pemeriksaan menurut Pasal 196 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan, yaitu dengan alasan angka 1 (satu) diatas dilakukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh hari) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan peninjauan kembali dengan dengan alasan 2 (dua) diberikan batas jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 297 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, permohonan tersebut dilampiri dengan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali, disampaikan kepada panitera, dan panitera melakukan pendaftaran, serta pada pemohon diberikan tanda terima.
Dalam Pasal 297 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera menyampaikan salinan pemohon berikut bukti pendukung yang dilampirkan kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.
Dalam Pasal 297 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, pihak termohon dapat mengajukan kontra memori artinya dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan.
Dalam Pasal 297 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, panitera wajib menyampaikan jawaban itu kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 298 Undang-undang Kepailitan disebutkan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung segera memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum dan memberikan putusan. Dan dalam jangka waktu 2 (dua) hari lagi setelah putusan Mahkamah Agung diucapkan, panitera wajib menyampaikan kepada panitera Pengadilan Niaga, salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut.

Akibat hukum kepailitan
Bahwa dengan diketahui debitur pailit, banyak akibat yuridis diberlakukan kepada debitur pailit oleh Undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan dua mode perlakuan, yaitu :
A. Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
A. Berlaku secara Rule of Reason
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam Pasal 21 Undang-undang Kepailitan disebutknan, Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian, bahwa Kepailitan berkaitan dengan harta benda debitur. Oleh karena itu dengan dinyatakan pailit, maka:
1. Debitur,
a. Kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya.
b. Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel pailit.
c. tujuan terhadap harta pailit diajukan ke dan atau oleh Kurator.
d. Penyitaan menjadi hapus.
e. Bila debitur ditahan harus dilepas.
2. Terhadap Pemegang Hak Tertentu,
a. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan.
b. Pelaksanaan hak tersebut harus dilaporkan ke Kurator.
c. Hak istimewa.
Dalam Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu. Dalam Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya ialah disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan.

Pemberesan harta pailit dalam kepailitan
Istilah pemberesan harta pailit (insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, sebagai keadaan tidak mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi hukum, yaitu jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu kamus, insolvency berarti :
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam perusahaan (bisnis), atau
2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Bahwa insolvency itu terjadi dengan istilah demi hukum jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara prosedural hukum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika :
1. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau
2. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau
3. pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan, debitur :
a. Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak.
b. Pengurusan terhadap perusahaan dihentikan (dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
Akibat hukum dari insolvency debitur pailit, yaitu konsekuensi hukum tertentu, adalah sebagai berikut :
1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal, pertimbangan bisnis) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan.
2. Pada prinsipnya tidak ada rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvency telah tidak terjadi perdamaian, dan aset debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya. Dapat diketahui bahwa rehabilitasi dilakukan antara lain, apabila ada perdamaian atau utangnya dapat dibayar penuh (dalam Pasal 215 Undang-undang Kepailitan). Kecuali jika setelah insolvency, kemudian terdapat harta debitur pailit, misalnya karena warisan atau menang undian, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian, rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 Undang-undang Kepailitan.
Tindakan Kurator sesudah adanya keadaan insolvency, dengan keadaan insolvency yang sudah ada, maka :
a. Dalam Pasal 188 Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan.
b. Dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, penyusunan daftar pembagian atas persetujuan Hakim Pengawas.
c. Perusahaan pailit dapat diteruskan atas persetujuan Hakim Pengawas.
d. Dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator membuat daftar pembagian yang berisi :
1. Jumlah uang yang diterima dan yang dikeluarkan.
2. Nama-nama kreditur dan jumlah tagihannya yang telah disahkan.
3. pembayaran-pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan-tagihan itu.
e. Dalam Pasal 189 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi para kreditur yang konkuren, harus diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas.
f. Dalam Pasal 189 ayat (4) Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk kreditur yang mempunyai hak istimewa, juga mereka yang hak istimewanya dibantah, dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka.
g. Dalam Pasal 189 ayat (5) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi mereka kreditur yang didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
h. Dalam Pasal 190 Undang-undang Kepailitan disebutkan, untuk piutang-piutang yang diterima dengan syarat, diberikan prosentaseprosentase dari seluruh jumlah piutang.
i. Dalam Pasal 191 Undang-undang Kepailitan disebutkan, biaya-biaya kepailitan dibebankan kepada tiap-tiap bagian dari harta pailit, kecuali yang menurut Pasal 55 telah dijual sendiri oleh kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

Kedudukan Debitur Pailit Dengan Berakhirnya Pemberesan.
Ada dua cara untuk berakhirnya proses kepailitan, yaitu :
1. Dengan pembayaran kembali semua piutang-piutang para kreditur ata dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, atau
2. Dalam pelaksanaan, harta kekayaan debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak tercapai perdamaian, debitur dalam keadaan insolvency (tidak mampu membayar). Sebagai lanjutan dari insolvency, maka proses sitaan umum berjalan. Penjualan aset debitur dimungkinkan, karena dalam tahapan insolvency, sitaan konservatoir atas harta kekayaan debitur berubah sifatnya menjadi sitaan eksekutorial. Dalam keadaan demikian kepailitan berakhir berakhir dengan disusun dan dilaksanakan daftar pembagian mengikat dari hasil sitaan atau hasil penjualan harta kekayaan debitur.

Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dengan berakhirnya kepailitan tersebut baik melalui cara pertama atau dengan cara yang kedua, debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden van eigendom). Bagi kreditur dan para kreditur-kreditur yang piutang-piutang yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Oleh karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa piutangnya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar