Kepailitan
Pengertian
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan
Perdagangan disebutkan, bahwa yang dimasudkan dengan pailit atau bangkrut, antara
lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bangkrut, dan yang
aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Namun demikian, pada umumnya bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut
itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya
perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi
secara adil di antara para kreditur.
Dalam hubungan ini dapat pula
diberlakukan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang
Kepailitan), yang menyatakan:
“Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini”.
Dengan demikian, segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya).
Istilah berhenti membayar tersebut dalam Pasal 1 Undang-undang Kepailitan,
tidak harus diartikan yakni si debitur berhenti untuk sama sekali untuk membayar
utang-utangnya, melainkan bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan
pailit, berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut (Putusan
Pengadilan Tinggi No. 171/Perd./ PTB, tanggal 31 Juli 1973).
Dengan demikian, kepailitan mempunyai
makna ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tepat
pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar
utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitur
maupun kreditur melalui pranata hukum kepailitan.
Ada beberapa faktor perlunya
pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang:
Pertama, untuk menghindari
perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor
yang menagih piutangnya dari Debitor.
Kedua, untuk menghindari adanya
Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para
Kreditor lainnya.
Ketiga, untuk menghindari adanya
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor
sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang
atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau
adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya
dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Undang-Undang tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas.
Asas-asas tersebut antara lain adalah:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa
ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu
pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata
dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan
mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas
tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor
lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang
ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya
merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara
perdata nasional.
Syarat
dan Putusan Pailit
Sesuai Undang Undang Nomor 37 tahun
2004 Pasal 2 tentang syarat dan putusan pailit adalah sebagai berikut:
1. Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
3. Dalam hal Debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
4. Dalam hal Debitor adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal.
5. Dalam hal Debitor adalah
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Mekanisme permohonan pernyataan pailit
dijelaskan dalam Pasal 6 Undang-undang Kepailitan yaitu, permohonan diajukan ke
Ketua Pengadilan. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga yang berada
di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Kepailitan).
a. Permohonan ditujukan ke Ketua
Pengadilan Niaga.
b. Panitera mendaftarkan
permohonan.
c. Sidang dilakukan paling lambat
20 hari setelah permohonan didaftar.
d. Bila alasan cukup Pengadilan
dapat menunda paling lambat 25 hari.
e. Pemeriksaan paling lambat 20
hari (Pasal 6 ayat (6) Undang-undang Kepailitan).
f. Hakim dapat menunda 25 hari
(Pasal 8 ayat (7) Undang-undang Kepailitan).
g. Pemanggilan dilakukan 7 hari
sebelum sidang dilakukan.
h. Putusan Pengadilan paling lambat
60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5)
Undang-undang Kepailitan).
Prosedur pengajuan permohonan
pailit dalam pelaksanannya, adalah permohonan pailit ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga tempat kedudukan hukum debitur, yang diajukan secara tertulis dibuat
rangkap 6 (enam), aslinya ditandatangani di atas materai. Apabila termohon pailit
lebih dari satu, maka surat permohonan pailit ditambah sesuai dengan banyak
jumlah termohon pailit. Permohonan pailit harus diajukan oleh seorang advokat,
kecuali diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan
Menteri Keuangan. Melampirkan daftar bukti berikut bukti-bukti yang sudah dinazegelen dan surat kuasa khusus yang
harus didaftarkan terlebih dahulu di kepaniteraan Pengadilan Niaga, selanjutnya
melakukan pembayaran SKUM sebagai uang panjar perkara. Setelah permohonan
lengkap, maka Panitera menyampaikan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga
paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan pailit didaftarkan berdasarkan
Pasal 6 Undang-undang Kepailitan tersebut diatas.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU
No. 37 Th. 2004 “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
Pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pailit
A. Pihak termohon pailit
Salah satu pihak yang terlibat dalam
perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yaitu pihak yang mengambil
inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan, yang dalam perkara
biasa disebut sebagai pihak penggugat. Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor
37 Tahun 2004 (Pasal 2) maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara
pailit adalah salah satu dari pihak berikut ini :
1. Pihak debitur itu sendiri.
2. Salah satu atau lebih dari pihak
kreditur.
3. Pihak Kejaksaan jika menyangkut
dengan kepentingan umum.
4. Pihak Bank Indonesia jika
debiturnya adalah suatu bank.
5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal
jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek.
6. Menteri Keuangan jika debiturnya
yang bergerak di bidang kepentingan publik. Misal : Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara.
B. Pihak debitur pailit
Pihak debitur pailit adalah pihak
yang memohon atau dimohonkan pailit ke Pengadilan yang berwenang. Yang dapat
menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur
dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat dilakukan
penagihan
C. Hakim Niaga
Perkara kepailitan diperiksa oleh
Hakim Majelis (tidak boleh Hakim tunggal) baik untuk tingkat pertama maupun
untuk tingkat kasasi. Hanya untuk perkara perniagaan lainnya yakni yang bukan
perkara kepailitan untuk tingkat Pengadilan pertama yang boleh diperiksa oleh Hakim
tungal dengan penetapan Mahkamah Agung (Pasal 302 Undang undang Kepailitan).
Hakim Majelis tersebut merupakan Hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni
Hakim-hakim Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi Hakim Pengadilan Niaga
berdasarkan keputusan
D. Hakim Pengawas
Dalam pengawasan pelaksanaan
pemberesan harta pailit, maka dalam keputusan kepailitan, oleh Pengadilan harus
diangkat seorang Hakim Pengawas di samping pengangkatan Kurator. Di antara
tugas dan wewenang dari Hakim Pengawas menurut Undang-undang Kepailitan sebagai
berikut :
1. Menetapkan jangka waktu tentang
pelaksanaan perjanjian yang masih berlangsung antara debitur dengan pihak
krediturnya, jika antara pihak kreditur dengan pihak Kurator tidak tercapai kata
sepakat tersebut (Pasal 36 Undang-undang Kepailitan).
2. Memberikan putusan atas
permohonan kreditur atau pihak ketiga yang berkepentingan yang haknya
ditangguhkan untuk mengangkat penangguhan apabila Kurator menolak permohonan
pengangkatan penanggunan tersebut (Pasal 56 Undang-undang Kepailitan).
3. Memberikan persetujuan kepada
Kurator apabila pihak Kurator menjaminkan harta pailit kepada pihak ketiga atas
pinjaman yang dilakukan Kurator dari piahk ketiga tersebut (Pasal 69 ayar (3)
Undang-undang Kepailitan).
4. Memberikan izin bagi pihak Kurator
apabila ingin menghadap di muka Pengadilan, kecuali untuk hal-hal tertentu
(Pasal 69 ayat (5) Undang-undang Kepailitan).
5. Menerima laporan dari pihak
Kurator tiap tiga bulan sekali mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan
tugasnya (Pasal 74 ayat (1)Undang-undang Kepailitan).
6. Memperpanjang jangka waktu
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) tersebut di atas (Pasal 74
ayat (3) Undang-undang Kepailitan).
7. Menawarkan kepada kreditur untuk
membentuk panitia kreditur setelah pencocokan utang selesai dilakukan (Pasal 80
Undang-undang Kepailitan).
8. Apabila dalam putusan pernyataan
pailit telah ditunjuk panitia kreditur sementara, mengganti panitia kreditur
sementara tersebut atas permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan
kreditur konkuren dengan suara simple majority (Pasal 80 ayat (2) (a)
Undang-undang Kepailitan).
9. Apabila dalam putusan pernyataan
pailit belum diangkat panitia kreditur, membentuk panitia kreditur atas
permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara
simple majority (Pasal 80 ayat (2) (b) Undangundang Kepailitan).
10. Menetapkan hari, tanggal, waktu
dan tempat rapat kreditur pertama (Pasal 85 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
11. Menyampaikan kepada Kurator
rencana penyelenggaraan rapat kreditur pertama (Pasal 86 ayat (2) Undang-undang
Kepailitan).
12. Memberikan persetujuan untuk
dilakukannya penyegelan atas harta pailit oleh Hakim Pengawas dengan alasan
untuk mengamankan harta pailit (Pasal 99 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
13. Apabila tidak diangkat panitia
kreditur dalam putusan pernyataan pailit, maka Hakim Pengawas dapat memberikan persetujuan
kepada Kurator untuk melanjutkan usaha debitur, sungguhpun ada kasasi atau
peninjauan kembali (Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
14. Memberikan persetujuan kepada
Kurator untuk mengalihkan harta pailit sepanjang diperlukan untuk menutup
ongkos kepailitan atau apabila penahanannya akan mengakibatkan kerugian pada
harga pailit, meskipun ada kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 107 ayat (1)
Undang-undang Kepailitan).
D. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak
yang cukup memegang peranan dalam suatu proses perkara pailit. Dan karena
peranannya yang besar dan tugasnya yang berat, maka tidak sembarangan orang
dapat menjadi pihak Kurator. Dalam Pasal 69 Undang-undang Kepailitan disebutkan,
tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.
Karena itu pula maka persyaratan dan prosedur untuk dapat menjadi Kurator ini
oleh Undang-undang Kepailitan diatur secara relatif ketat. Sewaktu masih berlakunya
peraturan kepailitan zaman Belanda, hanya Balai Harta Peninggalan (BHP) saja
yang dapat menjadi Kurator tersebut. Dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, yang dapat bertindak menjadi Kurator sekarang adalah
sebagai berikut :
1. Balai Harta Peninggalan (BHP)
2. Kurator lainnya.
Untuk jenis Kurator lainnya, dalam
Pasal 70 ayat (2), (a), (b) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yaitu Kurator yang
bukan Balai Harta Peninggalan adalah mereka yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu :
a. Perorangan atau persekutuan
perdata yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian khusus yang
dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit.
b. Telah terdaftar pada kementerian
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan
perundangundangan.
Dalam penjelasan Pasal 70 ayat (2)
huruf (a) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yang dimaksud dengan keahlian
khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus.
Dalam penjelasan Pasal 70 ayat (2)
huruf (b) Undang-undang Kepailitan disebutkan, yang dimaksud dengan terdaftar
adalah telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan anggota
aktif organisasi profesi Kurator dan pengurus.
E. Panitia kreditur
Salah satu pihak dalam proses
kepailitan adalah apa yang disebut Panitia Kreditur. Pada prinsipnya, suatu
panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia
kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak
kreditur. Ada dua macam panitia kreditur yang diperkenalkan oleh Undang-undang Kepailitan,
yaitu :
1. Panitia kreditur sementara (yang
ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit).
2. Panitia kreditur (tetap) yakni
yang dibentuk oleh Hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat
panitia kreditur sementara.
Dalam Pasal 79 Undang-undang
Kepailitan disebutkan, dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian,
Pengadilan dapat membentuk Panitia Kreditur (sementara) yang terdiri dari tiga
(3) orang yang dipilih dari Kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat
kepada Kurator. Yang dimaksud dengan Kreditur yang sudah dikenal adalah
Kreditur yang sudah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Atas permintaan
kreditur konkuren, dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara
terbanyak biasa (simple majority), Hakim pengawas berwenang menggantikan panitia
kreditur sementara dangan panitia kreditur (tetap), atau membentuk panitia
kreditur (tetap) jika tidak diangkat panitia diangkat sementara. Dalam hal ini,
Hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu
panitia kreditur.
Dengan demikian, jika sudah dilakukan
penyocokan utang, maka Hakim pengawas akan membentuk panitia kreditur tetap.
Dalam Undang undang Kepailitan disebutkan Hakim pengawas menawarkan membentuk panitia
kreditur tetap. Dalam menjalankan tugasnya panitia kreditur tetap berhak
meminta semua dokumen yang berkaitan dengan kepailitan. Bertanggung jawab
memberikan nasihat kepada kreditur.
Upaya
hukum kepailitan
A. Kasasi
Apabila pemohon tidak puas atau
keberatan atas putusan pada tingkat pertama, maka pemohon dapat mengajukan
permohonan kasasi, sebagai tingkat terakhir. Tidak ada tingkat banding atau
tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan
permohonan peninjauan kembali.
Dalam Pasal 11 Undang-udang
Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu :
1. Upaya hukum terhadap putusan
pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
2. Permohonan Kasasi diajukan
paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan.
3. Sidang permohonan Kasasi paling
lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima.
4. Putusan Kasasi dapat diajukan
Peninjauan Kembali.
Pada umumnya dalam perkara perdata
atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui
putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung
dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang
menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat
terakhir. Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri.
Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hukum biasa
yang dapat ditempuh.
Alasan-alasan permohonan kasasi
pada perkara kepailitan sama dengan alasan-alasan kasasi perkara-perkara
perdata umum, yaitu :
a. Tidak berwenang atau melampaui
batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Hal ini dapat diperiksa pada
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Lemabaran Negara tahun
1985 Nomor 73, Bab III. Pasal 30, sedang hukum acara bagi Mahkamah Agung berlaku
Bab IV, Pasal 40-78.
B. Peninjauan kembali
Pemeriksaan peninjauan kembali
adalah upaya hukum luar biasa. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali terhadap
putusan-putusan perkara kepailitan pada tingkat pertama, yang telah berkekuatan
tetap, hukum acaranya berbeda dengan sistem dan prosedural dengan hukum acara
pada perkara perdata umum.
Sidang permohonan pemeriksaam peninjauan
kembali, dalam Pasal 13 juncto Pasal 14 Undang-undang Kepailitan disebutkan,
sidang permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali paling lambat 20 hari putusan
diucapkan paling lambat 60 hari. Dalam Pasal 295 ayat (1), (2) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, yaitu :
1. Terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh
kekuatan tetap, dapat diajukan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini.
2. Permohonan peninjauan kembali
diajukan bila :
a. setelah perkara diputus ditemukan
bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di
Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan, artinya ditemukan bukti baru yang
menentukan.
b. Dalam putusan Hakim yang bersangkutan
terdapat kekeliruan yang nyata, artinya ada kekeliruan yang nyata.
Jangka waktu permohonan pemeriksaan
menurut Pasal 196 ayat (1), (2) Undang-undang Kepailitan, yaitu dengan alasan
angka 1 (satu) diatas dilakukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh hari)
hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh
kekuatan hukum tetap, sedangkan peninjauan kembali dengan dengan alasan 2 (dua)
diberikan batas jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Dalam Pasal 297 ayat (1) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, permohonan tersebut dilampiri dengan bukti pendukung
yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali, disampaikan kepada panitera,
dan panitera melakukan pendaftaran, serta pada pemohon diberikan tanda terima.
Dalam Pasal 297 ayat (2) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, panitera menyampaikan salinan pemohon berikut bukti
pendukung yang dilampirkan kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 2 (dua)
hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.
Dalam Pasal 297 ayat (3)
Undang-undang Kepailitan disebutkan, pihak termohon dapat mengajukan kontra
memori artinya dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali
yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan
peninjauan kembali didaftarkan.
Dalam Pasal 297 ayat (4) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, panitera wajib menyampaikan jawaban itu kepada Panitera
Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari sejak
tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 298 Undang-undang Kepailitan
disebutkan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung segera memeriksa dalam
sidang terbuka untuk umum dan memberikan putusan. Dan dalam jangka waktu 2
(dua) hari lagi setelah putusan Mahkamah Agung diucapkan, panitera wajib
menyampaikan kepada panitera Pengadilan Niaga, salinan putusan peninjauan kembali
yang memuat secara lengkap pertimbangan yang menjadi dasar putusan tersebut.
Akibat
hukum kepailitan
Bahwa dengan diketahui debitur
pailit, banyak akibat yuridis diberlakukan kepada debitur pailit oleh
Undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan dua
mode perlakuan, yaitu :
A. Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang
berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit
dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun
setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas,
Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak
dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis
tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang undang Kepailitan disebutkan, larangan
bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun
dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur
pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
A. Berlaku secara Rule of Reason
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari
kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak
otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak
tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang
mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut. Misal,
Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa berlakunya
akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak
tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang
berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan
oleh Pengadilan Niaga. Dalam Pasal 21 Undang-undang Kepailitan disebutknan,
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan
demikian, bahwa Kepailitan berkaitan dengan harta benda debitur. Oleh karena
itu dengan dinyatakan pailit, maka:
1. Debitur,
a. Kehilangan hak menguasai dan
mengurus harta kekayaannya.
b. Perikatan yang muncul setelah
pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel pailit.
c. tujuan terhadap harta pailit
diajukan ke dan atau oleh Kurator.
d. Penyitaan menjadi hapus.
e. Bila debitur ditahan harus
dilepas.
2. Terhadap Pemegang Hak Tertentu,
a. Pemegang gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya dapat mengeksekusi seolah-olah
tidak ada kepailitan.
b. Pelaksanaan hak tersebut harus
dilaporkan ke Kurator.
c. Hak istimewa.
Dalam Pasal 1139 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda
tertentu. Dalam Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan,
piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak
pada umumnya ialah disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari
pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan.
Pemberesan
harta pailit dalam kepailitan
Istilah pemberesan harta pailit
(insolvency) dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan,
sebagai keadaan tidak mampu membayar, artinya insolvency itu terjadi demi
hukum, yaitu jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam
keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Dalam salah satu
kamus, insolvency berarti :
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi
kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam perusahaan
(bisnis), atau
2. Kelebihan kewajiban dibandingkan
dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Bahwa insolvency itu terjadi dengan
istilah demi hukum jika tidak terjadi perdamaian dan harta pailit berada dalam
keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara
prosedural hukum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit
dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika :
1. Dalam rapat pencocokan piutang
tidak ditawarkan perdamaian, atau
2. Rencana perdamaian yang
ditawarkan telah ditolak, atau
3. pengesahan perdamaian ditolak
berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal
16 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, Kurator harus memulai
pemberesan dan menjual semua harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan
atau bantuan, debitur :
a. Usul untuk mengurus perusahaan
debitur tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak.
b. Pengurusan terhadap perusahaan
dihentikan (dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-undang Kepailitan).
Akibat hukum dari insolvency
debitur pailit, yaitu konsekuensi hukum tertentu, adalah sebagai berikut :
1. Harta pailit segera dieksekusi
dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal, pertimbangan bisnis) yang
menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih
menguntungkan.
2. Pada prinsipnya tidak ada
rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvency telah tidak terjadi
perdamaian, dan aset debitur pailit lebih kecil dari kewajibannya. Dapat
diketahui bahwa rehabilitasi dilakukan antara lain, apabila ada perdamaian atau
utangnya dapat dibayar penuh (dalam Pasal 215 Undang-undang Kepailitan).
Kecuali jika setelah insolvency, kemudian terdapat harta debitur pailit,
misalnya karena warisan atau menang undian, sehingga utang dapat dibayar lunas.
Dengan demikian, rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 Undang-undang
Kepailitan.
Tindakan Kurator sesudah adanya keadaan
insolvency, dengan keadaan insolvency yang sudah ada, maka :
a. Dalam Pasal 188 Undang-undang
Kepailitan disebutkan, Kurator melakukan pembagian kepada kreditur yang
piutangnya telah dicocokkan.
b. Dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, penyusunan daftar pembagian atas persetujuan Hakim
Pengawas.
c. Perusahaan pailit dapat
diteruskan atas persetujuan Hakim Pengawas.
d. Dalam Pasal 189 ayat (2) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, Kurator membuat daftar pembagian yang berisi :
1. Jumlah uang yang diterima dan
yang dikeluarkan.
2. Nama-nama kreditur dan jumlah
tagihannya yang telah disahkan.
3. pembayaran-pembayaran yang akan
dilakukan terhadap tagihan-tagihan itu.
e. Dalam Pasal 189 ayat (3)
Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi para kreditur yang konkuren, harus diberikan
bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas.
f. Dalam Pasal 189 ayat (4) Undang-undang
Kepailitan disebutkan, untuk kreditur yang mempunyai hak istimewa, juga mereka
yang hak istimewanya dibantah, dan pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari
hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang
diagunkan kepada mereka.
g. Dalam Pasal 189 ayat (5)
Undang-undang Kepailitan disebutkan, bagi mereka kreditur yang didahulukan maka
untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
h. Dalam Pasal 190 Undang-undang
Kepailitan disebutkan, untuk piutang-piutang yang diterima dengan syarat,
diberikan prosentaseprosentase dari seluruh jumlah piutang.
i. Dalam Pasal 191 Undang-undang
Kepailitan disebutkan, biaya-biaya kepailitan dibebankan kepada tiap-tiap bagian
dari harta pailit, kecuali yang menurut Pasal 55 telah dijual sendiri oleh
kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak
agunan atas kebendaan lainnya.
Kedudukan
Debitur Pailit Dengan Berakhirnya Pemberesan.
Ada dua cara untuk berakhirnya
proses kepailitan, yaitu :
1. Dengan pembayaran kembali semua
piutang-piutang para kreditur ata dengan tercapainya perdamaian (akkoor) dalam
rapat pencocokan piutang (verification), maka proses kepailitan berakhir, atau
2. Dalam pelaksanaan, harta kekayaan
debitur tidak mencukupi untuk pembayaran kembali semua piutang kreditur. Jika
dalam rapat pencocokan piutang tidak tercapai perdamaian, debitur dalam keadaan
insolvency (tidak mampu membayar). Sebagai lanjutan dari insolvency, maka
proses sitaan umum berjalan. Penjualan aset debitur dimungkinkan, karena dalam
tahapan insolvency, sitaan konservatoir atas harta kekayaan debitur berubah
sifatnya menjadi sitaan eksekutorial. Dalam keadaan demikian kepailitan
berakhir berakhir dengan disusun dan dilaksanakan daftar pembagian mengikat
dari hasil sitaan atau hasil penjualan harta kekayaan debitur.
Dengan demikian, sebagai
konsekuensi hukum dengan berakhirnya kepailitan tersebut baik melalui cara
pertama atau dengan cara yang kedua, debitur pailit memperoleh kembali wewenangnya
untuk melakukan tindakan pengurusan dan pemilikan (daden van beheer er daden
van eigendom). Bagi kreditur dan para kreditur-kreditur yang piutang-piutang
yang belum dibayar lunas, para kreditur tetap mempunyai hak menuntut. Oleh
karena itu, jika debitur dikemudian hari memperoleh harta lagi, maka
kreditur-kreditur ini masih mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan kembali sisa
piutangnya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar